Selasa, 18 September 2012

Rest in Peace, Guys.

( 28 Januari 2009 )
Sudah cukup lama yah waktu berjalan, nggak terasa udah 3 tahun.
Aku masih bisa membayangkan senyummu.
Juwita Qoirun Nisaa.
Kamu tahu Ju, ketika itu waktu berjalan cepat sekali. Waktu itu kita masih kelas dua SMA, XI IPA 3.
Kelas kita paling ujung timur dekat kantin bila dihitung dari deretan kantor guru.
Entah kenapa suasana hari itu lain sekali. Sangat berbeda. Aku tak menyangka kalau ini jadinya.
Ju, kamu ingat waktu pak Agus mengajar pelajaran Bahasa Indonesia? Beliau menyebut gelar tertinggi manusia yaitu ALM. Dan memang benar, semua orang kelak menyandang gelar itu tanpa mengetahui kapan waktu tepatnya wisuda.
Ju, kamu juga tahu kan suasana kelas siang itu, gelap. Jendela kelas tak bisa dibuka karena dari luar tertutup oleh material atau semacam kayu-kayu atau apalah. Ditambah lagi lampu kelas mati. Gelap sudah jadinya. Hanya beberapa berkas sinar yang mampu menembus masuk ke dalam kelas kita.
Ju, kamu juga ingat kok waktu piring-piring di kantin tiba-tiba pecah dua atau tiga kali, aku lupa tepatnya. Mungkin hanya kebetulan saja.
Ju, beberapa hari sebelumnya kamu sms temen-temen, memintakan maaf atas kesalahan orang lain, bukan untuk dirimu. Kamu baik sekali, Ju.
Ju, waktu jam istirahat kita di UKS, kamu aku titipin handphone milik Ipin, dan kamu cuma diam saja, menatap kosong padaku.
Ju, waktu hari itu, kamu lebih banyak diam sama aku dibanding sama Nisa dan Putri.
Ju, pas pelajaran Fisika di laborat lantai atas, kamu maju ke depan, ngerjain soal fisika, dan ternyata itu adalah terakhir kalinya kamu ngerjain soal fisika di papan tulis. Kamu juga asyik-asyik berfoto dengan Putri dan Nisa di lab waktu itu, dan kamu katakan, "Buat kenang-kenangan."
Dan foto terakhir ketika pelajaran selesai adalah foto di anak tangga menuju laborat bersama dengan kawan-kawan dan pak Wardoyo, guru Fisika kita.
Aku tak menghubung-hubungkan semua hal itu dengan kejadian yang menimpamu, Ju.
Aku hanya mengenang.
Sekitar jam setengah tiga, aku benar-benar seakan disambar petir.
Aku sedang les, Ju. Les di tempat pak Yono. Dan ketika itu jadwalnya Fisika.
Telpon pertama datang dari Putri, dia terisak-isak mengabarkan bahwa kamu kecelakaan dan sekarang dibawa di PKU Karanganom. Aku berencana setelah les berakhir, aku akan menengokmu karena kupikir kamu hanya jatuh ringan, Ju. Aku sungguh nggak menduga kamu mengalami kecelakaan yang sangat serius karena jalannya juga bukan jalan raya. Tapi aku salah.
Kurang dari lima menit kemudian, telpon kedua datang, dari Putri lagi, dan dia mengatakan, "Ell, Juwi meninggal....." Dia terisak-isak, Ju. Aku sungguh terkejut, amat sangat terkejut.
Kejadiannya begitu cepat, Ju.
Cepat sekali.
Saat itu juga aku langsung menuju ke PKU. Dan hanya tangis yang kudapat.
Banyak ceceran darah di lantai dan aku pun melihat tubuhmu sudah ditutupi kain dengan kerudung penuh darah yang tersembul keluar dari kain penutup itu.
Seketika aku menangis.
Akhirnya hujan pun jatuh membasahi bumi. Menghapus jejak-jejak darahmu di sepanjang jalan antara Koramil-PKU.
Malamnya aku ke rumahmu, Ju. Takziyah.
Dan aku bisa melihat dengan jelas bagaimana tubuhmu terbaring kaku di meja itu.
Aku dan kawan-kawan diperbolehkan melihat wajahmu, Ju. Ibumu yang membukakannya. Sungguh, ibumu begitu tegar dan tabah, Ju. Aku melihatmu untuk terakhir kalinya.
Esok harinya, kau pun dimakamkan.
Kau dan aku menjalani dunia yang berbeda sekarang, Ju.
Tiga hari bukan hal yang mudah untuk merelakanmu.
Jiwaku masih begitu labil, Ju.
Kau tahu itu, 'kan?


( 5 Mei 2010 )
Saat itu sudah kelulusan. Kita jarang bertemu lagi.
Brilliant Kaduma Rilangga.
Meskipun kita beda kelas, kamu XII IPA 1, tapi aku mengenalmu, Bri.
Karena kamu adalah kawan sahabatku, Asri.
Memang aku tak begitu kenal dekat denganmu, tapi kita pernah saling bersua, saling lempar canda, saling ngobrol, dan lain-lain lah.
Bri, semua kejadiannya cepat sekali dan tak pernah aku duga sebelumnya.
Bahkan sekitar satu jam sebelum kamu kecelakaan, kita berjumpa di jalan, di Gataksari. Aku membunyikan klaksonku, kamu pun mengetahuinya. Hanya secepat itu. Tiba-tiba saja ketika aku sampai rumah, aku mendapat kabar bahwa kamu meninggal karena kecelakaan.
Siapa yang nggak kaget kalau kejadiannya seperti itu, Bri? Bayangkan.
Malam itu, aku tak bisa takziyah dan melayat ke rumahmu, Bri, karena suatu keadaan yang mendesak.
Aku hanya bisa berdoa dari jauh.


( 22 September 2010 )
Sudah mulai kuliah. Kamu di UNS Solo, aku di UIN Jogja.
Nggak ada yang mengira sama sekali kalau kejadiannya seperti ini.
Waktu itu kamu sedang perjalanan mau ke kampus, 'kan?
Tri Sakti Rahmad Hidayat.
Kita dulu sekelas loh, dua tahun di XI IPA 3 dan XII IPA 3.
Dan kita lulus sama-sama.
Dan hal yang mengagetkan itu terjadi ketika aku sedang menjalani ospek di kampusku.
Lebih tepatnya saat itu baru Technical Meeting, tapi itu juga agenda penting 'kan buat kita-mahasiswa baru-.
Jadwalku siang, jam 12.30.
Tapi paginya, sekitar jam sembilan, secara mendadak, aku mendapat kabar bahwa kamu kecelakaan, Sakti.
Dan kamu meninggal.
Tanpa menunggu waktu lama, aku langsung meluncur ke Klaten.
Aku menunggu di tepi jalan di Polanharjo dekat kantor kecamatan, menunggu sang ketua kelas, Chandra, yang notabene juga kawan dudukmu satu bangku selama di kelas, untuk menuju ke rumahmu.
Sakti, waktu itu, ketika aku sampai, aku melihatmu sudah terbaring ditutupi kain.
Aku tak sempat mengantarmu hingga ke liang lahat.
Aku tak bisa lama-lama, Sakti, karena ada agenda yang harus aku jalani.
Akhirnya tepat jam 11.30 aku kembali ke Jogja. Kupacu motorku sekencang mungkin agar aku tidak terlalu telat sampai di kampus.
Aku sudah memberi kabar kepada salah satu panitia bahwa kemungkinan aku terlambat datang karena melayatmu, Sakti.
Beberapa hari kemudian, ketika aku di rumah, aku mendapat bahwa kamu masuk di koran Suara Merdeka.
Dan kabar beritanya memang sangat tidak mengenakkan yaitu kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawamu.



Ya, ketiga kawanku itu meregang nyawa karena kecelakaan lalu-lintas.
Memang sudah jalannya seperti ini, mau bagaimana lagi?
Terkadang memang kenyataan itu begitu menyesakkan untuk diterima, tapi kalau itu jadi jalan terbaik, mau tidak mau kita harus menerimanya.
Semoga kawan-kawanku diberikan tempat terbaik di sisi Allah, diampuni dosa-dosanya, dan diterima segala amal ibadahnya.
Aamiin.

Anyway, aku menulis ini di kamar kostku sendirian tapi aku merasa kayak ditemenin mereka.
Tengah malam sunyi begini, coy.
Pikiran jadi melayang kemana-mana.
Hehehe :D
Sudahlah, mereka adalah orang-orang yang baik.
Tuhan lebih menyayangi mereka.
^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar