Selasa, 12 Januari 2016

Ilmu dan Moral dalam Landasan Aksiologis

Pendahuluan
            Kehidupan manusia tidak terlepas dari adanya ilmu. Segala aspek kehidupan senantiasa diliputi oleh berbagai penerapan ilmu yang sangat bermanfaat bagi manusia. Ilmu ini juga yang membedakan derajat manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya.
            Adanya ilmu ini tidak lantas menutup jalan bagi adanya moral. Moral merupakan salah satu aspek terpenting yang melandasi kehidupan manusia. Tanpa moral, kehidupan manusia dapat hancur berantakan dan perdamaian tidak akan dapat diwujudkan. Moral jugalah yang dapat membedakan manusia yang beradab dengan yang tidak beradab.
            Penerapan ilmu dan moral di dalam kehidupan manusia harus berjalan secara beriringan dan seimbang. Apabila hanya salah satu hal saja yang dominan, maka kehidupan akan berjalan timpang dan tidak seimbang, sebagaimana kutipan yang dikemukakan oleh Albert Einstein yang berbunyi: ilmu tanpa bimbingan moral adalah buta dan moral tanpa ilmu adalah lumpuh.

Definisi Ilmu
Menurut The Liang Gie, ilmu adalah rangkaian aktifitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia (Suriasumantri, 2001: 14). Menurut Francia Bacon dalam Suriasumantri (2001: 17), pengetahuan adalah kekuasaan, apakah kekuasaan itu merupakan berkat atau justru malapetaka bagi umat manusia. Memang kalaupun terjadi malapetaka yang disebabkan oleh ilmu, kita tidak bisa mengatakan bahwa itu merupakan kesalahan ilmu, karena ilmu itu sendiri merupakan alat bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hidupnya. Lagi pula ilmu memiliki sifat netral, ilmu tidak mengenal baik ataupun buruk, melainkan tergantung pada pemilik dalam menggunakannya.
Ilmu adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya. Ilmu bukan sekedar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara sistematis dengan menggunakan metode-metode tertentu.
Menurut Ernest van den Haag dalam Harsojo (1977), ilmu memiliki ciri-ciri antara lain:
1.        Bersifat rasional, karena hasil dari proses berpikir dengan menggunakan akal (rasio).
2.        Bersifat empiris, karena ilmu diperoleh dari dan sekitar pengalaman oleh panca indera.
3.        Bersifat umum, hasil ilmu dapat dipergunakan oleh manusia tanpa terkecuali.
4.        Bersifat akumulatif, hasil ilmu dapat dipergunakan untuk dijadikan objek penelitian selanjutnya.
Sementara itu, menurut Randall dan Buchker (1942), ciri umum ilmu antara lain:
1.        Hasil ilmu bersifat akumulatif dan merupakan milik bersama.
2.       Hasil ilmu kebenarannya tidak mutlak dan bisa terjadi kekeliruan karena yang menyelidiki adalah manusia.
3.        Ilmu bersifat obyektif, artinya prosedur kerja atau cara penggunaan metode ilmu tidak tergantung kepada yang menggunakan, tidak tergantung pada pemahaman secara pribadi.

Definisi Moral
Ada beberapa definisi moral menurut para ahli. Menurut Chaplin (2006), moral mengacu pada akhlak yang sesuai dengan peraturan sosial, atau menyangkut hukum atau adat kebiasaan yang mengatur tingkah laku. Menurut Hurlock (1990), moral adalah tata cara, kebiasaan, dan adat peraturan perilaku yang telah menjadi kebiasaan bagi anggota suatu budaya. Sedangkan, menurut Wantah (2005), moral adalah sesuatu yang berkaitan atau ada hubungannya dengan kemampuan menentukan benar salah dan baik buruknya tingkah laku. Secara singkat, moral dapat diartikan sebagai suatu keyakinan tentang benar-salah, baik-buruk, yang sesuai dengan kesepakatan sosial dan yang mendasari tindakan atau pemikiran. Jadi, moral sangat berhubungan dengan benar-salah, baik-buruk, keyakinan, diri-sendiri, dan lingkungan sosial (Anonim, 2013).
Menurut K. Bertens, moral adalah nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (Amril, 2002: 17).
Moral adalah perbuatan, tingkah laku atau ucapan seseorang dalam berinteraksi dengan manusia. Apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Moral adalah produk dari budaya dan agama. Moral merupakan kondisi pikiran, perasaan, ucapan, dan perilaku manusia yang terkait dengan nilai-nilai baik dan buruk. Moral merupakan istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral disebut amoral, artinya tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh manusia. Moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses sosialisasi individu. Tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses sosialisasi. Moral di zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia harus mempunyai moral jika ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat (Dahlan, 2015).
Moral merupakan nilai-nilai dan norma yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dalam moral, terdapat dua kaidah dasar, yaitu kaidah sikap baik dan kaidah keadilan. Kaidah sikap baik merupakan kewajiban bertindak sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dari akibat baik dibandingkan akibat buruk. Kaidah keadilan merupakan keadilan dalam membagikan yang baik dan yang buruk.
Lebih lanjut, moral memiliki tahap-tahap perkembangan. Disadur dari Ali dan Asrori (2010: 147-149), tahap-tahap perkembangan moral yang sangat terkenal dikemukakan oleh Lawrence E. Kohlberg, antara lain:
1.  Tingkat prakonvensional yaitu tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral masih ditafsirkan oleh individu atau anak berdasarkan akibat fisik yang akan diterimanya, baik itu berupa sesuatu yang menyakitkan atau kenikmatan. Pada tingkat ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi hukuman dan kepatuhan serta orientasi relativitas instrumental.
2.  Tingkat konvensional ialah tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dipatuhi atas dasar menuruti harapan keluarga, kelompok atau masyarakat. Pada tingkat ini terdapat juga dua tahap, yaitu tahap orientasi kesepakatan antara pribadi atau disebut "orientasi anak manis" serta tahap orientasi hukum atau ketertiban.
3.    Tingkat pascakonvensional adalah tahap perkembangan moral yang aturan-aturan dan ungkapan-ungkapan moral dirumuskan secara jelas berdasarkan nilai-nilai dan prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan, hal ini terlepas dari otoritas kelompok atau orang yang berpegangan pada prinsip tersebut dan terlepas pula dari identifikasi diri dengan kelompok tersebut. Pada tingkatan ini terdapat dua tahap, yaitu tahap orientasi kontrak sosial legalitas dan tahap orientasi prinsip etika universal.

Hubungan Ilmu dan Moral
            Ilmu dan moral memiliki makna yang berbeda. Namun, bila dirunut lebih mendalam, keduanya bersifat saling melengkapi dan berhubungan erat, tidak dapat terpisahkan. Dalam kehidupan manusia, alangkah baiknya ilmu dan moral berjalan berdampingan secara serasi. Apabila, berat sebelah, atau lebih dominan pada salah satu aspek, misalnya hanya pada ilmu, maka kehidupan akan berjalan timpang dan tidak menemukan titik keseimbangan.
Ilmu bersifat dinamis dan selalu berkembang. Dalam mengembangkan dirinya, ilmu akan selalu mempengaruhi segala aspek kehidupan manusia, dalam arti mempengaruhi reproduksi dan penciptaan manusia. Bila hanya ilmu yang dikembangkan tanpa disertai moral yang baik, kehidupan manusia tidak akan jauh dari perang, kedamaian akan sulit ditemui, dan keseimbangan alam akan hancur. Padahal dalam kehidupan ini, antara ilmu dan moral haruslah seimbang.
Jika moral memiliki tingkatan tertinggi dalam kehidupan tanpa disertai ilmu, ini juga dapat menimbulkan ketidakseimbangan. Moral tanpa ilmu akan membawa dampak kecacatan dalam kehidupan.
Dalam penerapan di lapangan, dalam arti penerapan di dalam kehidupan manusia, ilmu dan moral haruslah berjalan seimbang dan serasi. Hal ini bertujuan agar manusia tidak hidup dalam ketidakseimbangan dan kekacauan. Selain itu hal ini dimaksudkan agar perdamaian dunia dapat diwujudkan di dalam kehidupan.

Landasan Aksiologis
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nilai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik, prosedural yang merupakan operasional?
Aksiologi adalah ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, aksiologi merupakan ilmu yang mempelajari hakikat dan manfaat yang sebenarnya dari pengetahuan, dan sebenarnya ilmu pengetahuan itu tidak ada yang sia-sia kalau kita bisa memanfaatkannya dan tentunya dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya serta di jalan yang baik pula.
Pada dasarnya ilmu harus dipergunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Dalam hal ini, ilmu dapat dimanfaatkan sebagai sarana atau alat dalam meningkatkan taraf hidup manusia dengan memperhatikan kodrat, martabat manusia, dan kelestarian atau keseimbangan alam. Untuk kepentingan manusia tersebut pengetahuan ilmiah yang diperoleh dan disusun dipergunakan secara komural dan universal. Komural berarti ilmu merupakan pengetahuan yang menjadi milik bersama, semua orang berhak memanfaatkan ilmu menurut kebutuhannya. Universal berarti ilmu tidak memiliki konotasi ras, ideologi, atau agama.

Kesimpulan
            Ilmu dan moral merupakan dua hal yang berbeda namun harus berjalan berdampingan. Keseimbangan di antara keduanya sangat diperlukan di segala aspek kehidupan. Manusia tidak dapat hidup dengan hanya mengandalkan salah satu dari kedua hal di atas, karena antara ilmu dan moral sudah seharusnya tidak terpisahkan dan selalu berdampingan untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia.

Bibliografi
Ali, M. & Asrori, M. (2010). Psikologi Remaja (Perkembangan Peserta Didik). Jakarta: Bumi Aksara.
Amril. (2002). Etika Islam. Yogyakarta: Pustaka Setia.
Anonim. (2013). Pengertian Ahli: Kumpulan Pengertian Menurut Para Ahli. Diakses dari http://www.pengertianahli.com/2013/10/pengertian-moral-menurut-para-ahli.html. 28 Desember 2015.
Dahlan, Ahmad. (2015). Pengertian dan Definisi Moral. Diakses dari http://www.eurekapendidikan.com/2015/02/pengertian-dan-definisi-moral.html. 28 Desember 2015
Suriasumantri, J. S. (2001). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Asumsi Sebagai Suatu Bentuk Kebenaran

Pendahuluan
Manusia terlahir dengan membawa akal. Akal atau logika berpikir inilah yang menjadikan manusia memiliki derajat paling tinggi dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang lain. Dengan akal, manusia diberi kecerdasan berpikir dan keluwesan dalam menentukan keputusan. Asumsi merupakan bagian dari akal. Setiap orang terbiasa melakukan asumsi dalam menjalani kehidupannya. Berbagai peristiwa yang terjadi silih berganti dari hari ke hari membuat manusia berpengalaman dalam melakukan asumsi. Misalnya, ketika cuaca mulai mendung, orang-orang cenderung mempersiapkan payung atau mantel bila bepergian. Mereka mengasumsikan akan terjadinya hujan dengan melihat indikasi langit yang mulai menampakkan awan mendungnya, sehingga mereka melakukan pencegahan agar tidak kehujanan dengan membawa payung atau mantel. Padahal dalam hal ini, cuaca yang mendung tersebut belum tentu akan mendatangkan hujan. Namun, manusia cenderung melakukan asumsi tersebut berdasarkan pengalaman yang sebelumnya pernah dialami. Atas dasar pengalaman itulah manusia belajar tentang asumsi.

Definisi Asumsi
Asumsi adalah suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan benarnya tidak tinggi. Belajar dapat dipahami sebagai penyimpan informasi mulai dari menerima informasi dari perhatian, pemahaman dan urutan peristiwa langsung ataupun tak langsung sehingga dapat disimpan melalui ingatan dan direproduksi untuk menimbulkan motivasi dalam mengingat (Purwandari, 2013).
Asumsi diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi, anggapan orang atau pihak tentang realitas bisa berbeda, tergantung pada sudut pandang dan kacamata yang digunakan. Asumsi merupakan anggapan atau andaian dasar tentang sebuah realitas. Asumsi adalah anggapan dasar tentang realitas objek yang menjadi pusat perhatian penelaahan kita. Asumsi merupakan pondasi bagi penyusunan pengetahuan ilmiah (Suriasumantri, 1984). Selain asumsi yang dimiliki ilmuwan, ilmu sendiri pada dasarnya memiliki dasar asumsi yang tidak boleh diganggu gugat agar ilmu bisa tetap berdiri.

Kriteria Kebenaran
Kriteria kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran. Koherensi dan kepraktisan merupakan contoh kriteria macam ini. Adakalanya consensus gentian (kesepakatan umat manusia), dianggap sebagai salah satu kriteria kebenaran (Anonim, 2014). Dengan kata lain, kebenaran merupakan hal yang sudah disepakati sejak awal dan memiliki makna yang dapat diterima akal sehat maupun yang absurd sesuai dengan keyakinan manusia.

Asumsi dalam Konteks Keilmuan
Ilmu yang paling maju yaitu fisika. Hal ini disebabkan oleh fisika memiliki cakupan objek zat, ruang, gerak, dan waktu. Newton dalam bukunya Philosophiae Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda secara substantif dengan energi. Sedangkan, Albert Einstein berbeda pendapat dengan Newton. Dalam The Special Theory of Relativity (1905), ia berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut. Asumsi dalam ilmu sosial lebih rumit. Masing-masing ilmu sosial memiliki berbagai asumsi mengenai manusia.
Purwandari (2013) menjelaskan lebih lanjut bahwasanya dalam mengembangkan asumsi harus memperhatikan dua hal:
1.                  Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2.                  Asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan sebagaimana adanya’, bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Pembahasan tentang asumsi-asumsi dasar proses keilmuan manusia dibahas mulai pada spektrum yang paling kiri, yaitu rasionalisme, sampai ke spektrum yang paling kanan, yaitu intuisionisme. Pembahasan tentang rasionalisme dimulai dari Descartes sampai kepada Wolff. Rasionalisme menganggap bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio. Berpikirlah yang membentuk pengetahuan. Manusia sebagai subjek timbulnya pengetahuan, adalah makhluk yang berpikir. Pada gilirannya, berdasarkan pengetahuan dari hasil berpikir itulah manusia berbuat dan menentukan tindakannya (Muslih, 2005:52).

Kesimpulan
Keberadaan asumsi sebagai bagian dari suatu bentuk kebenaran merupakan hal yang sangat penting karena asumsi berfungsi sebagai bagian mendasar yang harus ada. Asumsi memiliki posisi di berbagai bidang disiplin ilmu bahkan keberadaan asumsi pun ada dalam hukum alam. Akan tetapi, berkaitan dengan kebenaran, asumsi ini belum terbukti dengan pasti dianggap sebagai suatu kebenaran. Hal ini dikarenakan asumsi tidak memenuhi persyaratan sebagai suatu bentuk kebenaran.

Bibliografi
Anonim. (2014). Definisi Kebenaran. Diakses dari http://arti-definisi-pengertian.info/definisi-kebenaran/. 1 November 2015.
Muslih, Mohammad. (2005). Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.
Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Agape Press.

Intuisi Sebagai Bagian dari Pengetahuan

Pendahuluan
Intuisi acapkali diartikan sebagai suatu pertanda akan adanya suatu peristiwa. Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan khusus seperti indigo, kehadiran intuisi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah petunjuk. Namun, tidak sedikit pula yang meyakini bahwa intuisi hanya sebatas perasaan yang belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya. Semua bergantung pada persepsi masing-masing.
Intuisi dapat diyakini kebenarannya ketika peristiwa yang terjadi di realita benar-benar menggambarkan hal yang sesungguhnya, yang sebelumnya telah tampak pada intuisi. Intuisi ini sangat bergantung pada sensitivitas perasaan. Taruhlah contoh, seseorang sedang berada di perpustakaan kampus dengan membawa list buku yang akan dibacanya. Akan tetapi, ia terdorong untuk membaca buku X yang tidak ada dalam list yang telah ia rancang. Ternyata di dalam buku tersebut memuat suatu keterangan yang dicarinya selama bertahun-tahun. Dorongan untuk membaca buku X itulah yang dinamakan intuisi.

Definisi Intuisi
Setiap orang pada dasarnya memiliki intuisi, hanya saja tingkat kesensitifannya berbeda-beda. Jadi, tidak hanya orang yang dianugerahi kemampuan khusus saja yang mempunyai intuisi. Sejatinya pengetahuan intuitif bersumber pada naluri atau perasaan seseorang, sehingga intuisi bersifat subjektif.
Aliran yang membahas tentang intuisi disebut intuisionisme. Aliran ini dipelopori oleh Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi, sebagaimana dikemukakan oleh Muslih (2010:81). Intuisi dikatakan sebagai pengetahuan yang sempurna karena dianggap telah melewati berbagai proses yang berkaitan dengan Tuhan. Intuisi sebagai bisikan hati dipercaya sebagai petunjuk dari Tuhan akan sesuatu.

Penggunaan Intuisi
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harfiah. Intuisi harus dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan keadaan spontan (Darma: 2010). Intuisi ini tidak memerlukan adanya pemikiran-pemikiran realistis yang membutuhkan banyak pertimbangan karena intuisi sendiri bersifat spontan dan mendadak.
Intuisi, atau yang dalam istilah teknisnya disebut hads merupakan pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu. Selain itu, intuisi atau hads juga merupakan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri (Hasan, 2012). Bisikan-bisikan yang datang dari tempat yang tidak terduga sebelumnya dapat dikatakan sebagai intuisi. Sumber bisikan tersebut bisa jadi langsung dari Tuhan. Bagi orang-orang tertentu yang telah melakoni berbagai hal yang berkaitan dengan keagamaan atau dengan istilah lain disebut ‘laku prihatin’, sudah tentu intuisi dianggap sebagai hal yang patut dipercaya dan diyakini kebenarannya, sebab datangnya intuisi bukanlah dari sesuatu yang sembarangan.
Kuhn (1970:135) menyatakan bahwa walaupun intuisi bergantung pada pengalaman dan mendekati paradigma lama, ini tidak secara logis dan serta-merta berhubungan dengan suatu hal yang mana pengalaman tersebut dianggap sebagai interpretasi. Malahan, intuisi dan interpretasi bergabung menjadi satu dan mengubahnya menjadi suatu bentuk pengalaman yang kemudian terhubung sedikit demi sedikit kepada paradigma baru yang tidak terlalu kuno.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri manusia. Bergson mau mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Manusia dapat menemukan kepribadiannya dengan berjalannya waktu, dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Dengan intuisi, manusia akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu kontinu dan tidak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas. Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional sebagaimana dikemukakan oleh Darma (2010).
Umumnya pengetahuan ini menjadi pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, misalnya tentang ramalan-ramalan akan adanya sesuatu dan akan terjadinya suatu peristiwa. Pengetahuan intuitif ini juga memiliki kategori dan ciri pengetahuan non-ilmiah, di mana sifatnya subjektif, spekulatif, ekspresif, dan aktif (Muhibbuddin: 2011).

Pengetahuan Intuitif
Berkaitan dengan intuisi, yang lebih mendasar dan fundamental dalam meraih hakikat pengetahuan adalah pensucian jiwa dan tazkiyah hati, dan bukan dengan analisa pikiran dan demonstrasi rasional. Intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia, dan memberi banyak tambahan informasi yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang ditempuh oleh akal maupun indera (Rumi, 1968) sebagaimana dikemukakan oleh Muhibbuddin (2014:10). Pengetahuan intuitif diyakini sebagai pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Istilah ini sebenarnya digunakan tidak lain hanya untuk membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan indera. Artinya, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti rasional-empiris, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Dan satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah jiwa, sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan terpasung ke alam dunia sebagaimana dikemukakan oleh Hasan (2012).
Dengan demikian, intuisi bukanlah hal yang salah, tetapi intuisi juga tidak sepenuhnya dapat dianggap benar. Mengingat intuisi tidak dapat diindera, melainkan hanya dapat dirasakan, alangkah lebih baik bila difungsikan dengan bijak tentunya dengan mempertimbangkan hal-hal tertentu dan melihat dari konteksnya.

Kesimpulan
Berbagai peristiwa yang terjadi kadangkala tidak dapat diduga sebelumnya, tetapi tak jarang juga bisa diprediksi. Hal ini bergantung pada pengalaman terdahulu dan kemampuan sensitivitas perasaan seseorang. Kemampuan itulah yang dinamakan intuisi. Pada beberapa peristiwa, intuisi menunjukkan kebenarannya. Namun, bukan berarti kebenaran intuisi ini bersifat mutlak. Justru intuisi ini kebenarannya bersifat tentatif dan relatif. Dalam realitasnya, intuisi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tergantung pada aspek tertentu saat intuisi itu diamati.

Bibliografi
Darma, Atos. (2010). Intuisi dalam Alam Pikiran Barat dan Alam Pikiran Jawa (Sebuah Filsafat Perbandingan). Diakses dari http://www.kompasiana.com/darmawanto/intuisi-dalam-alam-pikiran-barat-dan-alam-pikiran-jawa-sebuah-filsafat-perbandingan_54ff4af0a33311fb4c50f9f4, 9 November 2015.
Hasan, Amin. (2012). Intuisi; Sumber Kebenaran dan Ilmu. Diakses dari http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2012/12/10/2387/intuisi-sumber-kebenaran-dan-ilmu.html, 24 Oktober 2015.
Irawan, Bambang. (2014). Intuisi Sebagai Sumber Pengetahuan: Tinjauan terhadap Pandangan Filosof Islam. Jurnal Teologia Vol. 25 No. 1. Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara.
Kuhn, Thomas S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions: Second Edition. Chicago: The University of Chicago Press.
Muhibbuddin. (2011). Menyikapi Pertentangan Ilmu Intuitif dan Ilmu Empiris. Diakses dari http://www.kompasiana.com/muhibbuddin/menyikapi-pertentangan-ilmu-intuitif-dan-ilmu-empiris_5508f56ca333112b452e3a24, 9 November 2015.

Muslih, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.

Miskonsepsi pada Fisika (Menurut Elliza) :D

Para siswa seringkali mengalami miskonsepsi pada materi fisika, salah satunya pada materi Hukum Newton. Pada dasarnya, Hukum I Newton, Hukum II Newton, dan Hukum III Newton merupakan satu kesatuan dan tidak dapat terpisahkan. Namun, bila berkaitan dengan rincian atau tinjauan tertentu, konsep dari Hukum Newton I-III tersebut dapat dikaji secara terpisah.
Siswa kerap kali merasa bingung ketika dihadapkan pada suatu soal atau permasalahan. Biasanya ini dikarenakan siswa belum memahami secara holistik konsep-konsep yang harus dikuasai untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Contoh miskonsepsi yang sering terjadi yaitu pada kasus seseorang yang mengendarai motor dengan kecepatan konstan kemudian melakukan rem mendadak sehingga mengakibatkan seseorang tersebut terjerembab di aspal. Mayoritas siswa menangkap contoh tersebut sebagai aplikasi Hukum I Newton. Akan tetapi, hal tersebut merupakan miskonsepsi.
Konsep pertama yang ditangkap siswa yaitu seseorang mengendarai motor dengan kecepatan konstan. Hal ini berkaitan dengan Hukum I Newton mengenai pergerakan benda dengan kecepatan konstan. Siswa sering lalai dalam memahami persoalan. Dalam kalimat ‘seseorang yang mengendarai motor dengan kecepatan konstan kemudian melakukan rem mendadak sehingga mengakibatkan seseorang tersebut terjerembab di aspal’ sesungguhnya terdapat seluruh konsep Hukum Newton, mulai dari Hukum I, II, dan III Newton.
Di sini, guru perlu meluruskan dan memberikan klarifikasi disertai dengan reinforcement (penguatan) sebagai berikut:
Seseorang mengendarai motor dengan kecepatan konstan à Hukum I Newton
Melakukan rem mendadak (sehingga nyaris berhenti) à Hukum II Newton
Terjerembab di aspal (sebagai reaksi) à Hukum III Newton

Guru perlu memberikan penjelasan berulang-ulang sebagai bentuk klarifikasi dan penguatan konsep, sehingga siswa diharapkan dapat memahami secara menyeluruh. Selain itu, gesture dan bahasa tubuh serta ekspresi guru juga membantu proses penerimaan konsep pada siswa. Contoh yang dekat dengan kehidupan sehari-hari pun dapat membantu siswa lebih memahami konsep Hukum Newton sehingga tidak memberikan kesan abstrak. Pemberian contoh yang riil dalam kehidupan nyata sehari-hari dapat membantu penerimaan materi kepada siswa. Sehingga apabila siswa telah memahami konsep yang sebenarnya, diharapkan tidak ada miskonsepsi lagi pada materi Hukum Newton ini.

Senin, 04 Januari 2016

Donat Bakar Solo

Heyyy, halooooo, haaaaaaaiiiiiiiii!!!
Sore menjelang malam alangkah enaknya ngemil sesuatu yang ringan-ringan, misalnya donat. *ebuseeett, donat lu kate ringan, ell?*
Gapapaaaa, namanya aja ngemil, jadi ya ringan ajalaaah.
Kali ini aku beli "Donat Bakar". Jadi nih yaaa, sepulangnya aku dari kampus tercintrongggg, aku mampir di area belakang kampus. Di sepanjang tepi jalan UNS-ISI, banyak penjual cemilan-cemilan gitu deh, salah satunya adalah Donat Bakar. Karena aku penasaran dan interested, jadinya aku samperin tuh.
seperti inilaaaaahhhh.....
Donat Bakar ini dijual dengan menggunakan mobil, jadi bukan ala-ala stand atau gerobak gitu. Jadi bisa menjajakan dagangannya ke mana-mana.
menu segede gaban
menu yang kecil biar bacanya lebih fokus
Nah, namanya aja donat bakar. Jadi, ada proses pembakarannya juga nih. Kayak gini:
dibakar!
Ternyata bakarnya itu cuma ditaroh di atas teflon, tanpa mentega gitu. Karena pada dasarnya donatnya sendiri udah mengandung mentega.
Setelah dibakar, bagian atasnya dicelupin sesuai topping yang diinginkan.
Voila!
Tampilan donat itu masih rapi sesampainya aku di rumah. Padahal aku naek motor loh. Heheee :D
Kalo tampilannya tanpa flash, seperti ini:
doughnut
Rentang harganya sekitar 3,5k-7k. Selain donat, juga ada burger dan sosis. Bersahabat banget di kantong mahasiswa!
Aku beli 5 macem donat itu dengan harga 24k, dengan topping co oreo, green tea, berry chip, co keju, dan durian.
Rasanya juga enaaaaakkkk banget!
Nagih bangeeettt.
Perlu diulang lagi nih ngicipinnya untuk topping yang lain.
See you, guys!

Mr. Mesem Solo

Siang yang panas, laper, dan ngantuk. Solusinya: makan. (well, harusnya kalo ngantuk itu ya tidur sih, tapi berhubung ini ada lapernya ya makan dulu aja lah).
Kali ini aku makan di kawasan dekat kampus UNS, tepatnya di daerah Ngoresan. Nama warungnya yaitu Mr. Mesem.
Aku nggak tau dan nggak akan pernah tau kenapa nama warungnya dikasih nama mister mesem, karena aku juga nggak pernah menanyakannya. *apa banget sih ini gajelas banget* -______-
Di sini menunya macem-macem sih, utamanya serba penyetan dan goreng. Nah, berhubung aku adalah mahasiswi yang selalu menempuh jarak yang sangat jauh dari rumah ke kampus, (artinya pengeluaran itu diperhitungkan banget yang buat pertalite lah, photocopy lah, pulsa lah, buku lah, mascara lah, bedak lah, jilbab lah, sepatu lah, apa lah, apa lah) jadinya menu yang aku pesan itu yang penting komplit dan mengenyangkan. Cuma buat sementara ngisi perut doang, vroh. *halah*
*keliatan pelitnya kalo sama diri-sendiri mah*
Di sini, aku pesan "Paket Komplit B". Terdiri atas es teh + nasi ayam penyet tulang lunak + kerupuk. Totalnya 10,5k. Naaahhhh, murce kaaaannnnnnnn. Kayak gini nihhh penampakannya:
nasi ayam penyet tulang lunak
Tampilannya sih rapih (kalo ala-ala anak kost mah soal penampilan nggak penting, yang penting porsi banyak, bikin kenyang, enak pula, plus murah, bhahahahahahhkkk). Nasinya dibentuk, ayam penyetnya juga gurih, enak banget. Tulangnya dimakan sekalian juga nggak masalah, soalnya empuk banget. Sambelnya kurang nendang tapi *menurutku*. Namun, dengan harga segitu yaaa cukup enak lah.
es teh
Minuman sejuta umat: ES TEH!
Yang jelas rasanya ya seperti es teh pada umumnya yaaaahhh. Seger seger gitu deeehh.
Wkwkwkk XD.
Sekian dulu review makanan dan tempat makan yang enak (menurutku).
See you on my next post, guys!