Rabu, 26 Maret 2014

Evanescence - The Change



THE CHANGE
(PERUBAHAN)

Thought that I was strong
(Terpikir bahwa aku kuat)

I know the words I need to say
(Aku tahu kata-kata yang perlu untuk kukatakan)

Frozen in my place
(Beku di posisiku)

I let the moment slip away
(Kubiarkan waktu terlepas)

I’ve been screaming on the inside and I know you feel the pain
(Aku berteriak di dalam diri dan aku tahu kau rasakan sakitnya)

Can you hear me, can you hear me?
(Dapatkah kau mendengarku, dapatkah kau mendengarku?)

Say it’s over, yes it’s over
(Katakan ini telah usai, ya ini telah usai)

But I need you anyway
(Namun aku tetap membutuhkanmu)

Say you love me but it’s not enough
(Katakan kau mencintaiku tapi itu tak cukup)

Never meant to lie
(Tak pernah bermaksud untuk berbohong)

But I’m not the girl you think you know
(Tapi aku bukanlah wanita yang kau pikir kau kenal)

The more that I’m with you
(Semakin lama aku bersamamu)

The more that I’m all alone
(Semakin aku merasa bahwa aku sendirian)

I’ve been screaming on the inside and I know you feel the pain
(Aku berteriak di dalam diri dan aku tahu kau rasakan sakitnya)

Can you hear me, can you hear me?
(Dapatkah kau mendengarku, dapatkah kau mendengarku?)

Say it’s over, yes it’s over
(Katakan ini telah usai, ya ini telah usai)

But I need you anyway
(Namun aku tetap membutuhkanmu)

Say you love me but it’s not enough
(Katakan kau mencintaiku tapi itu tak cukup)

Not that I’m so different
(Bukan karena aku sangat berbeda)

Not that I don’t see I’m dying
(Bukan karena aku tak mengetahui bahwa aku sekarat)

I know what we used to be
(Aku tahu seperti apa kita dulu)
But how could I forgive you?
(Tapi bagaimana bisa aku memaafkanmu?)

You’ve changed and I will lie here by your side
(Kamu telah berubah dan aku akan berbohong di sini karenamu)

I’m about to lose my mind
(Aku hampir kehilangan akal)

‘Cause I’ve been screaming on the inside and I know you feel the pain
(Karena aku berteriak di dalam diri dan aku tahu kau rasakan sakitnya)

Can you hear me, can you hear me?
(Dapatkah kau mendengarku, dapatkah kau mendengarku?)

You’ve been screaming that you’re thinking that I still belong to you
(Kau berteriak dan kau pikir aku masih milikmu)

And I’ve been dying ‘cause I’m lying to myself
(Dan aku hampir mati karena aku berbohong pada diriku-sendiri)

Say it’s over, yes it’s over
(Katakan ini telah usai, ya ini telah usai)

But I need you anyway
(Namun aku tetap membutuhkanmu)
Say you love me but it’s not enough
(Katakan kau mencintaiku tapi itu tak cukup)

[Evanescence]

Dia merasa tegar dan meyakini bahwa semua baik-baik saja. Meski sebenarnya yang dilakukannya merupakan kepura-puraan. Semua orang bisa melihat bahwa sebenarnya dia tidak baik-baik saja. Ketegaran yang nampak oleh mata mereka hanya dianggap sebagai sugesti bagi dirinya agar dia kuat menjalani hari-hari ke depan.
Dia tahu betul apa yang dirasakannya. Sakit yang menghujam hatinya ia biarkan saja tertanam tersembunyi di balik hatinya. Bahkan orang terdekatnya pun tak ia biarkan mengetahui hal yang sebenarnya telah terjadi. Ia menelan pahitnya sendiri. Bodoh? Dia mengetahui apa yang harus dikatakannya. Dia mengetahui kenyataan yang muncul di permukaan. Namun, hanya dia pendam sendiri. Dia telan perasaan yang sakitnya melebihi ledakan jantung dalam dadanya. Dia telan perasaan yang pahitnya sungguh melebihi barang terpahit yang ada di jagat raya ini.
Berteriak tanpa bersuara. Hanya itu yang dilakukannya. Hatinya menjerit teramat payah dan dia harap pria yang telah menghancurkan hatinya dapat mendengar teriakan itu.
Dia terlalu menjaga perasaan pria itu, pria yang sungguh disayanginya. Namun, kenyataan memang kejam. Pria yang dikasihinya setengah mati itu malah membuatnya benar-benar merasa hampir mati. Dia hanya berteriak dalam hati menerima kenyataan ini. Ingin lari dan meninggalkan pria itu sejauh mungkin, tapi tak bisa. Dia memilih untuk tetap teguh berada di samping lelaki itu sambil menahan sakit-perih-luka menganga yang masih basah di hari-harinya.
Tibalah hari di mana dia memilih untuk berpisah dari pria itu. Apa yang didapat? Pria itu tentu menolak untuk berpisah. Jelas saja. Siapa lagi yang bisa menyayangi pria itu dengan tulus hati selain dia? Siapa lagi yang bisa menerima keadaan pria itu seutuhnya selain dia? Siapa lagi yang mampu bertahan sekuat itu dalam peliknya kenyataan selain dia? Siapa lagi yang sanggup tertawa-tersenyum-bahagia di balik tangis-duka-pilu demi pria itu selain dia? Pria itu menolak berpisah, sungguh. Pria itu tak mau pergi ataupun meninggalkan dia. Pria itu bersikeras bahwa pria itu menyayangi dirinya, sangat menyayangi dirinya. Tetapi, biar bagaimanapun dan apapun bentuknya, semua yang dilakukan pria itu tetap saja serba salah. Apa kata “sayang” cukup untuk membuktikan perasaan sayang yang sesungguhnya? Hei, dia tetap merasa sakit. Dia menderita. Tapi dia tetap setia pada pria itu sekalipun menderita. Bodoh? Jangan sekali-kali mengatakan bahwa dia bodoh. Dia tahu apa yang harus dilakukannya.

Minggu, 23 Maret 2014

Segelintir Kisah Selama PLP (Program Latihan Profesi) di MAN Yogyakarta 1



               Aku menghitung tahun demi tahun. 2010, 2011, 2012, 2013. Tibalah kehadiranku di tahun 2013 yang mana statusku berubah menjadi mahasiswi semester tujuh. Wow, I think it’s incredible! Cepat sekali, terasa singkat perjalanan ini. Tahu-tahu kok sudah menginjak tingkat empat. Padahal semester tujuh ini menurut pandanganku adalah semester paling menakutkan sepanjang sejarah dan harusnya kuhindari itu. Namun, nasib berkata lain. Aku masih saja bertahan di kampus ini dan menikmati perjalananku sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Fisika. Well, this is my journey, this is my life, and this is my destiny. So, daripada terus-terusan meratapi nasib sebagai mahasiswi yang salah jurusan, lebih baik nikmati dan tuntaskan saja! Kepalang tanggung sudah sejauh ini, masa iya mau menyerah? No way lah! Sudah terlanjur nyemplung itu ya berenang saja dengan berbagai gaya yang divariasi, bukannya malah diam dan tenggelam. Itu kata kunci yang selalu kupegang agar semangatku tetap membara menjalani setiap sekon hari-hari yang kuhabiskan di sini.

            Alright, semester tujuh itu saatnya praktik di lapangan. Bahasa kerennya Program Latihan Profesi (PLP). PLP adalah mata kuliah yang harus diinput oleh mahasiswi semester tujuh dengan syarat-syarat yang telah dipenuhi sebelumnya seperti telah mengikuti mata kuliah Microteaching, Strategi Pembelajaran Fisika, dan lain-lain. Nah, ketika input KRS dan aku menge-klik item mata kuliah PLP, aku merasa batinku berdesir hebat, jantungku memompa darah lebih cepat, otakku seperti bergeser 45 derajat dari sumbu asalnya, dan persendian kakiku mendadak lemas (hiperbola mode: on). Ehm, lebih tepatnya aku berpikir ekstra keras. Pada saat itu, aku merasa PLP adalah fase paling keras dalam perkuliahan. Selain karena faktor horor akibat kata-kata dari seorang dosen yang menyatakan bahwa dunia kerja itu kejam, siswa-siswanya banyak yang seenaknya, dan sebagainya, aku sendiri juga kurang siap dalam menghadapi dunia sekolah yang riil mengingat bekal pengetahuan yang kuterima selama ini kurasa belum cukup untuk terjun langsung di lapangan dan melakonkan diri sebagai seorang guru sejati.  Akan tetapi, perasaan negatifku yang demikian berkecamuk itu tidak begitu mempengaruhi kinerja otakku untuk tetap berpikir normal dan positif.
            PLP tetap menjadi mata kuliah wajib yang harus kuambil dan kujalani seikhlas mungkin. Yaah, alih-alih untuk ajang pengembangan diri lah. Aku menganggap PLP ini sebagai batu loncatanku untuk membuktikan kemampuan diriku yang memiliki kekuatan super seperti Sailor Moon atau Power Rangers yang bisa berubah untuk menyelamatkan umat manusia. Dalam hal ini, kekuatan super yang kumaksud tentunya kekuatan dalam menyusun perangkat pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran secara riil di sekolah. Kalau boleh jujur, sebenarnya behind the scene-nya seorang guru itu repot sekali. Orang awam mungkin hanya menganggap pekerjaan guru hanya mengajarkan materi di sekolah kepada siswa. Sudah. Titik. Hanya itu. Tapi, ternyata salah besar, guys. Pekerjaan guru itu benar-benar berat. Terlebih untuk urusan administrasi pembelajaran. Oh, God, ampun deh!
            Entah karena mantera apa yang kukomat-kamitkan setiap hari, akhirnya aku ditempatkan di MAN Yogyakarta 1 sebagai lokasi PLP-ku. Perasaanku awalnya biasa saja, just a little bit feeling surprised, dan tetap berpikir positif bahwa aku pasti bisa! Tetapi, setelah mendengar desas-desus ­issue yang menyatakan MAN Yogyakarta 1 atau yang akrab dipanggil MANSA adalah MAN nomor satu di Djogdja alias MAN unggulan di seantero bumi Jogja, aku merasa mulai grogi dan gelisah. Oh, man, this is crazy. Siswa-siswi macam apa yang akan kuhadapi nanti? Seperti apakah kehidupan bawah langit di atas bumi MANSA yang akan kujalani selama dua bulan? Bagaimanakah nasibku selama berada di penjara emas itu? Pertanyaan-pertanyaan absurd itu mulai mengaliri pembuluh darah di otakku. Pikiranku bekerja super cepat menggali ruang-ruang abstrak yang tersembunyi dalam sel-sel otakku. Tapi, seperti biasa, lima menit kemudian otakku bereaksi normal kembali tanpa harus merasa cemas yang berlebihan. Everything will be running well and I’ll get success!
            Menjalani masa-masa PLP selama dua bulan bagiku terasa cepat. Ternyata setelah dijalani dengan ikhlas dan sepenuh hati, segalanya memang berjalan lancar dan apa adanya, tidak dibuat-buat, dan tidak full of drama. Mungkin karena sudah terbiasa. Minggu pertama masih agak canggung karena beradaptasi dengan lingkungan madrasah dan kegiatan persekolahan. Minggu kedua, sudah sedikit terbiasa dengan aturan madrasah yang ketat dan aturan dari koordinator persekolahan yang keras. Minggu ketiga dan seterusnya, benar-benar telah terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di lingkungan madrasah dan sekitarnya, baik guru dan karyawan, siswa-siswi, serta aturan dan budaya yang berlaku di MANSA.

            Semua hal bila telah dijalani ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Menurutku semua normal-normal saja dan ini memberiku pengalaman yang luar biasa, pahit maupun manis. Pahitnya harus rela menjadi pembalap di pagi hari untuk mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di madrasah, membuat perangkat pembelajaran yang seabrek, mengoreksi hasil pekerjaan siswa (tugas & ulangan) yang pada akhirnya menyesakkan dada bila mengetahui hasil yang diperoleh jauh dari harapan (baca: nilai jelek), menghadapi siswa yang susah diatur alias suka rame sendiri, dan harus ikhlas menerima kata-kata sadis dari koordinator persekolahan yang menegur tim PLP bila aktivitas atau pekerjaan kami dirasa kurang memuaskan. Manisnya, aku jadi lebih menghargai waktu dan mendisiplinkan diri dalam segala hal, lebih sabar dan tidak mudah mengedepankan emosi, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan bahasa yang sepantasnya kepada guru-guru, lebih menghargai profesi guru yang memang luar biasa berat, lebih dekat pada siswa dan berkomunikasi dengan baik sebagaimana cara berkomunikasi antara kakak-adik, lebih easy-going dalam menjalani hari sekalipun dikejar deadline, serta membuat aku lebih teliti, was-was, dan tidak memandang remeh hal sekecil apa pun. Memang pengalaman yang banyak tersebut tidak lantas mengubahku secara keseluruhan. Namun, at least aku dapat memetik ibrah yang luar biasa dan mendapat pengalaman yang benar-benar hanya terjadi sekali seumur hidup. Aku sungguh menghargai dan mensyukuri fase ini hadir dalam rentang masa aktif hidupku. Tuhan memang Maha Indah. Rencana-Nya selalu tepat sasaran.
            Selama PLP, kelas praktikku mengajar adalah X-C. Memang hanya X-C, karena secara tertulis aku hanya diberi hak praktik mengajar di kelas X-C. Namun, realita di lapangan berbeda, bro. Suatu ketika, guru pamongku mendapat tugas dinas atau apalah namanya selama 10 hari dan hari-hari itu bertepatan dengan jadwalku menjalani UTS di kampus. Jlegg, otomatis semua pekerjaan yang diampu sang guru pamong dilimpahkan kepadaku. It’s really unpredictable. Seperti shock therapy di siang bolong ketika aku mendapati kabar itu. Tapi, Elliza tetaplah Elliza. Wajah tetap terlihat kalem, manis, dan meyakinkan, walaupun hati dan batinnya sudah jumpalitan seperti terbang menggunakan roket sambil meliuk-liuk di udara menuju ke galaksi Andromeda. Setelah melalui jalur negosiasi yang super lancar tanpa kendala, akhirnya yang terjadi pun terjadilah. Aku mengajar di kelas X-A, X-B, X-C, X-D, X-E, X-F, X-G, dan mendampingi praktikum kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan XI IPA 3. 

Memang benar kata guru yang sudah berpengalaman, antara kelas satu dengan kelas yang lain karakteristik siswanya berbeda-beda, tidak mungkin sama. Terbukti. Sebetulnya aku beruntung mendapat kesempatan berlian ini (aku  menghindari kata-kata ‘kesempatan emas’ karena sudah sering digunakan orang). Dengan menggantikan “posisi” sementara sang guru pamong, aku menjadi mudah mengenali karakteristik siswa, lihai menangani siswa yang super kritis, dan lebih bersahabat dengan siswa. Semua siswa kuanggap adik sendiri. Aku pun lebih enjoy membimbing mereka, sesuai dengan style-ku. Rasanya bahagia sekali bila melihat wajah sumringah para siswa ketika bisa memahami materi yang kuajarkan.
            Dari sekian kelas yang pernah ku-cuci-otak, kelas X-C-lah yang paling berkesan bagiku (ya iyalah, kelas praktik sendiri). No, no, I’m just kidding. But swear, honestly I appreciate them. X-C benar-benar spesial dan berbeda dari kelas yang lain. Mereka menamakan kelasnya dengan sebutan “eXCeptional”. Terjemahannya “luar biasa”. Menurutku secara filosofis memang luar biasa karena really different than other class. Siswa-siswanya paling rame, paling kritis, ekslusif, kompak, dan berprestasi. They’re amazing. Secara tidak langsung, mereka justru mengajarkanku tentang arti kesabaran, cocok sekali untukku karena aku ini termasuk pribadi yang galak dan mudah terbakar amarahnya. Mereka selalu sukses membuatku tersenyum dan tertawa riang di balik kekesalan perasaanku terhadap RPP yang harus disusun begitu perfect. Mereka tidak pernah membuatku marah semurka singa yang kelaparan di tengah sabana. Terkadang memang sikap mereka menyebalkan, tapi itu tidak sebanding dengan hiburan psikologis yang kuterima setiap hari. Menyenangkan. Bahagia.

            eXCeptional mengilhamiku dalam memetik pelajaran selama PLP ini. Semua hal yang telah kuperoleh dan terjadi dalam hidupku adalah hal yang luar biasa dan begitu hebatnya mengalir dengan cerita yang tak pernah kusangka sebelumnya. Sehingga ini mengajarkanku bahwa tidak ada celah untukku mengingkari semua nikmat Tuhan yang telah tercurah selama ini. Terima kasih untuk Allah dan semua yang hadir dalam setiap episode kehidupanku.




Bumi Jogja, 10 Desember 2013
10.13 post meridiem
Elliza Efina Rahmawati Putri (10690019)

Selasa, 18 Maret 2014

Teh Tarik

Bahkan hanya teh tarik yang mengetahui perasaanku saat ini.
(Mengenaskan T_T)

Rindu rumah

Setiap aku bikin teh tarik, selalu ada yang menghabiskannya selain aku. Papaku.
Hangat terkadang panas, teh dicampuri susu yang tidak terlalu kental, diberi gula satu sendok teh saja.
Hmmm, itu cukup menghangatkan kerongkongan dan sela dadaku di pagi hari.
Aku rindu rumah.
Aku kangen rumah.


Senin, 17 Maret 2014

Mungkin (Lelah)



Mungkin kalian mereka lelah mendengar bisikku yang tak pernah usai
                Bisikan yang tak pernah kalian mereka harapkan
                Bisikan yang membuat kalian mereka jengah
                Bisikan yang tak seharusnya kalian mereka terima
Mungkin kalian mereka lelah mendengar tangisku yang sama
                Tangisan sendu pada hal yang tak berbeda
                Tangisan lirih pada sesuatu yang terlalu pedih
                Tangisan kejemuan pada atmosfer yang membelenggu jiwa
Mungkin kalian mereka lelah mendengar teriakanku yang gila
                Teriakan yang berbeda antara hari ini dan kemarin
                Teriakan yang terkesan bodoh untuk diungkapkan
                Teriakan yang semu pada detik-detik senyuman terakhir
Mungkin kalian mereka lelah mendengar lisanku yang bercerita
                Hari ini sedih
                Kemarin terluka
                Besok bahagia
Mungkin kalian mereka lelah melihat kenyataan yang ada di pelupuk mata kalian mereka
                Aku – di satu sisi terhunus sembilu yang ceceran darahnya nampak di sepanjang perjalanan hidupku, di setiap deretan hembus napasku, di semua derap langkah kakiku
                Aku – di sisi lain berbahagia jelas dengan senyuman simetris yang menghiasi ujung-ujung bibir mungilku, tertawa lepas gembira sungguh tanpa rekayasa
                Aku
                Aku
                Aku


Tenanglah, kawan
Waktuku tak lama
Aku akan segera meninggalkan atmosfer kalian mereka
Aku tahu bahwa kalian mereka sudah terlalu lelah, amat sangat lelah, denganku – dengan diriku
Tenanglah, tak lama lagi aku akan pergi
Karena kutahu
Mungkin kalian mereka lelah



Jogja, 14 Maret 2014
09.50 pm