Aku
menghitung tahun demi tahun. 2010, 2011, 2012, 2013. Tibalah kehadiranku di
tahun 2013 yang mana statusku berubah menjadi mahasiswi semester tujuh. Wow, I think it’s incredible! Cepat sekali,
terasa singkat perjalanan ini. Tahu-tahu kok
sudah menginjak tingkat empat. Padahal semester tujuh ini menurut pandanganku
adalah semester paling menakutkan sepanjang sejarah dan harusnya kuhindari itu.
Namun, nasib berkata lain. Aku masih saja bertahan di kampus ini dan menikmati
perjalananku sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Fisika. Well, this is my journey, this is my life, and this is my destiny. So, daripada terus-terusan meratapi nasib
sebagai mahasiswi yang salah jurusan, lebih baik nikmati dan tuntaskan saja!
Kepalang tanggung sudah sejauh ini, masa iya mau menyerah? No way lah! Sudah terlanjur nyemplung
itu ya berenang saja dengan berbagai gaya yang divariasi, bukannya malah diam
dan tenggelam. Itu kata kunci yang selalu kupegang agar semangatku tetap
membara menjalani setiap sekon
hari-hari yang kuhabiskan di sini.
Alright,
semester tujuh itu saatnya praktik di lapangan. Bahasa kerennya Program Latihan
Profesi (PLP). PLP adalah mata kuliah yang harus diinput oleh mahasiswi
semester tujuh dengan syarat-syarat yang telah dipenuhi sebelumnya seperti
telah mengikuti mata kuliah Microteaching,
Strategi Pembelajaran Fisika, dan lain-lain. Nah, ketika input KRS dan aku
menge-klik item mata kuliah PLP, aku merasa batinku berdesir hebat, jantungku
memompa darah lebih cepat, otakku seperti bergeser 45 derajat dari sumbu
asalnya, dan persendian kakiku mendadak lemas (hiperbola mode: on). Ehm, lebih tepatnya aku berpikir ekstra keras.
Pada saat itu, aku merasa PLP adalah fase paling keras dalam perkuliahan.
Selain karena faktor horor akibat kata-kata dari seorang dosen yang menyatakan
bahwa dunia kerja itu kejam, siswa-siswanya banyak yang seenaknya, dan
sebagainya, aku sendiri juga kurang siap dalam menghadapi dunia sekolah yang
riil mengingat bekal pengetahuan yang kuterima selama ini kurasa belum cukup
untuk terjun langsung di lapangan dan melakonkan diri sebagai seorang guru
sejati. Akan tetapi, perasaan negatifku
yang demikian berkecamuk itu tidak begitu mempengaruhi kinerja otakku untuk
tetap berpikir normal dan positif.
PLP tetap menjadi mata kuliah wajib
yang harus kuambil dan kujalani seikhlas mungkin. Yaah, alih-alih untuk ajang
pengembangan diri lah. Aku menganggap PLP ini sebagai batu loncatanku untuk
membuktikan kemampuan diriku yang memiliki kekuatan super seperti Sailor Moon atau Power Rangers yang bisa berubah untuk menyelamatkan umat manusia.
Dalam hal ini, kekuatan super yang kumaksud tentunya kekuatan dalam menyusun
perangkat pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran secara riil di
sekolah. Kalau boleh jujur, sebenarnya behind
the scene-nya seorang guru itu repot sekali. Orang awam mungkin hanya
menganggap pekerjaan guru hanya mengajarkan materi di sekolah kepada siswa.
Sudah. Titik. Hanya itu. Tapi, ternyata salah besar, guys. Pekerjaan guru itu benar-benar berat. Terlebih untuk urusan
administrasi pembelajaran. Oh, God,
ampun deh!
Entah karena mantera apa yang
kukomat-kamitkan setiap hari, akhirnya aku ditempatkan di MAN Yogyakarta 1
sebagai lokasi PLP-ku. Perasaanku awalnya biasa saja, just a little bit feeling surprised, dan tetap berpikir positif
bahwa aku pasti bisa! Tetapi, setelah mendengar desas-desus issue yang menyatakan MAN Yogyakarta 1
atau yang akrab dipanggil MANSA adalah MAN nomor satu di Djogdja alias MAN
unggulan di seantero bumi Jogja, aku merasa mulai grogi dan gelisah. Oh, man, this is crazy. Siswa-siswi
macam apa yang akan kuhadapi nanti? Seperti apakah kehidupan bawah langit di
atas bumi MANSA yang akan kujalani selama dua bulan? Bagaimanakah nasibku
selama berada di penjara emas itu? Pertanyaan-pertanyaan absurd itu mulai
mengaliri pembuluh darah di otakku. Pikiranku bekerja super cepat menggali
ruang-ruang abstrak yang tersembunyi dalam sel-sel otakku. Tapi, seperti biasa,
lima menit kemudian otakku bereaksi normal kembali tanpa harus merasa cemas
yang berlebihan. Everything will be running
well and I’ll get success!
Menjalani masa-masa PLP selama dua
bulan bagiku terasa cepat. Ternyata setelah dijalani dengan ikhlas dan sepenuh
hati, segalanya memang berjalan lancar dan apa adanya, tidak dibuat-buat, dan
tidak full of drama. Mungkin karena
sudah terbiasa. Minggu pertama masih agak canggung karena beradaptasi dengan
lingkungan madrasah dan kegiatan persekolahan. Minggu kedua, sudah sedikit
terbiasa dengan aturan madrasah yang ketat dan aturan dari koordinator
persekolahan yang keras. Minggu ketiga dan seterusnya, benar-benar telah
terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di lingkungan madrasah dan sekitarnya,
baik guru dan karyawan, siswa-siswi, serta aturan dan budaya yang berlaku di
MANSA.
Semua hal bila telah dijalani
ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Menurutku semua normal-normal saja dan
ini memberiku pengalaman yang luar biasa, pahit maupun manis. Pahitnya harus
rela menjadi pembalap di pagi hari untuk mengejar waktu agar tidak terlambat
sampai di madrasah, membuat perangkat pembelajaran yang seabrek, mengoreksi hasil pekerjaan siswa (tugas & ulangan)
yang pada akhirnya menyesakkan dada bila mengetahui hasil yang diperoleh jauh
dari harapan (baca: nilai jelek), menghadapi siswa yang susah diatur alias suka
rame sendiri, dan harus ikhlas
menerima kata-kata sadis dari koordinator persekolahan yang menegur tim PLP
bila aktivitas atau pekerjaan kami dirasa kurang memuaskan. Manisnya, aku jadi
lebih menghargai waktu dan mendisiplinkan diri dalam segala hal, lebih sabar
dan tidak mudah mengedepankan emosi, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan
bahasa yang sepantasnya kepada guru-guru, lebih menghargai profesi guru yang
memang luar biasa berat, lebih dekat pada siswa dan berkomunikasi dengan baik
sebagaimana cara berkomunikasi antara kakak-adik, lebih easy-going dalam menjalani hari sekalipun dikejar deadline, serta membuat aku lebih
teliti, was-was, dan tidak memandang remeh hal sekecil apa pun. Memang
pengalaman yang banyak tersebut tidak lantas mengubahku secara keseluruhan.
Namun, at least aku dapat memetik ibrah yang luar biasa dan mendapat
pengalaman yang benar-benar hanya terjadi sekali seumur hidup. Aku sungguh
menghargai dan mensyukuri fase ini hadir dalam rentang masa aktif hidupku.
Tuhan memang Maha Indah. Rencana-Nya selalu tepat sasaran.
Selama PLP, kelas praktikku mengajar
adalah X-C. Memang hanya X-C, karena secara tertulis aku hanya diberi hak
praktik mengajar di kelas X-C. Namun, realita di lapangan berbeda, bro. Suatu ketika, guru pamongku
mendapat tugas dinas atau apalah namanya selama 10 hari dan hari-hari itu
bertepatan dengan jadwalku menjalani UTS di kampus. Jlegg, otomatis semua pekerjaan yang diampu sang guru pamong
dilimpahkan kepadaku. It’s really
unpredictable. Seperti shock therapy
di siang bolong ketika aku mendapati kabar itu. Tapi, Elliza tetaplah Elliza.
Wajah tetap terlihat kalem, manis, dan meyakinkan, walaupun hati dan batinnya
sudah jumpalitan seperti terbang menggunakan
roket sambil meliuk-liuk di udara menuju ke galaksi Andromeda. Setelah melalui
jalur negosiasi yang super lancar tanpa kendala, akhirnya yang terjadi pun
terjadilah. Aku mengajar di kelas X-A, X-B, X-C, X-D, X-E, X-F, X-G, dan
mendampingi praktikum kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan XI IPA 3.
Memang benar kata
guru yang sudah berpengalaman, antara kelas satu dengan kelas yang lain
karakteristik siswanya berbeda-beda, tidak mungkin sama. Terbukti. Sebetulnya
aku beruntung mendapat kesempatan berlian ini (aku menghindari kata-kata ‘kesempatan emas’
karena sudah sering digunakan orang). Dengan menggantikan “posisi” sementara
sang guru pamong, aku menjadi mudah mengenali karakteristik siswa, lihai
menangani siswa yang super kritis, dan lebih bersahabat dengan siswa. Semua
siswa kuanggap adik sendiri. Aku pun lebih enjoy
membimbing mereka, sesuai dengan style-ku.
Rasanya bahagia sekali bila melihat wajah sumringah para siswa ketika bisa
memahami materi yang kuajarkan.
Dari sekian kelas yang pernah
ku-cuci-otak, kelas X-C-lah yang paling berkesan bagiku (ya iyalah, kelas
praktik sendiri). No, no, I’m just
kidding. But swear, honestly I
appreciate them. X-C benar-benar spesial dan berbeda dari kelas yang lain.
Mereka menamakan kelasnya dengan sebutan “eXCeptional”. Terjemahannya “luar
biasa”. Menurutku secara filosofis memang luar biasa karena really different than other class.
Siswa-siswanya paling rame, paling
kritis, ekslusif, kompak, dan berprestasi. They’re
amazing. Secara tidak langsung, mereka justru mengajarkanku tentang arti
kesabaran, cocok sekali untukku karena aku ini termasuk pribadi yang galak dan
mudah terbakar amarahnya. Mereka selalu sukses membuatku tersenyum dan tertawa
riang di balik kekesalan perasaanku terhadap RPP yang harus disusun begitu perfect. Mereka tidak pernah membuatku
marah semurka singa yang kelaparan di tengah sabana. Terkadang memang sikap
mereka menyebalkan, tapi itu tidak sebanding dengan hiburan psikologis yang
kuterima setiap hari. Menyenangkan. Bahagia.
eXCeptional mengilhamiku dalam
memetik pelajaran selama PLP ini. Semua hal yang telah kuperoleh dan terjadi
dalam hidupku adalah hal yang luar biasa dan begitu hebatnya mengalir dengan
cerita yang tak pernah kusangka sebelumnya. Sehingga ini mengajarkanku bahwa
tidak ada celah untukku mengingkari semua nikmat Tuhan yang telah tercurah
selama ini. Terima kasih untuk Allah dan semua yang hadir dalam setiap episode
kehidupanku.
Bumi
Jogja, 10 Desember 2013
10.13
post meridiem
Elliza
Efina Rahmawati Putri (10690019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar