Minggu, 23 Maret 2014

Segelintir Kisah Selama PLP (Program Latihan Profesi) di MAN Yogyakarta 1



               Aku menghitung tahun demi tahun. 2010, 2011, 2012, 2013. Tibalah kehadiranku di tahun 2013 yang mana statusku berubah menjadi mahasiswi semester tujuh. Wow, I think it’s incredible! Cepat sekali, terasa singkat perjalanan ini. Tahu-tahu kok sudah menginjak tingkat empat. Padahal semester tujuh ini menurut pandanganku adalah semester paling menakutkan sepanjang sejarah dan harusnya kuhindari itu. Namun, nasib berkata lain. Aku masih saja bertahan di kampus ini dan menikmati perjalananku sebagai mahasiswi jurusan Pendidikan Fisika. Well, this is my journey, this is my life, and this is my destiny. So, daripada terus-terusan meratapi nasib sebagai mahasiswi yang salah jurusan, lebih baik nikmati dan tuntaskan saja! Kepalang tanggung sudah sejauh ini, masa iya mau menyerah? No way lah! Sudah terlanjur nyemplung itu ya berenang saja dengan berbagai gaya yang divariasi, bukannya malah diam dan tenggelam. Itu kata kunci yang selalu kupegang agar semangatku tetap membara menjalani setiap sekon hari-hari yang kuhabiskan di sini.

            Alright, semester tujuh itu saatnya praktik di lapangan. Bahasa kerennya Program Latihan Profesi (PLP). PLP adalah mata kuliah yang harus diinput oleh mahasiswi semester tujuh dengan syarat-syarat yang telah dipenuhi sebelumnya seperti telah mengikuti mata kuliah Microteaching, Strategi Pembelajaran Fisika, dan lain-lain. Nah, ketika input KRS dan aku menge-klik item mata kuliah PLP, aku merasa batinku berdesir hebat, jantungku memompa darah lebih cepat, otakku seperti bergeser 45 derajat dari sumbu asalnya, dan persendian kakiku mendadak lemas (hiperbola mode: on). Ehm, lebih tepatnya aku berpikir ekstra keras. Pada saat itu, aku merasa PLP adalah fase paling keras dalam perkuliahan. Selain karena faktor horor akibat kata-kata dari seorang dosen yang menyatakan bahwa dunia kerja itu kejam, siswa-siswanya banyak yang seenaknya, dan sebagainya, aku sendiri juga kurang siap dalam menghadapi dunia sekolah yang riil mengingat bekal pengetahuan yang kuterima selama ini kurasa belum cukup untuk terjun langsung di lapangan dan melakonkan diri sebagai seorang guru sejati.  Akan tetapi, perasaan negatifku yang demikian berkecamuk itu tidak begitu mempengaruhi kinerja otakku untuk tetap berpikir normal dan positif.
            PLP tetap menjadi mata kuliah wajib yang harus kuambil dan kujalani seikhlas mungkin. Yaah, alih-alih untuk ajang pengembangan diri lah. Aku menganggap PLP ini sebagai batu loncatanku untuk membuktikan kemampuan diriku yang memiliki kekuatan super seperti Sailor Moon atau Power Rangers yang bisa berubah untuk menyelamatkan umat manusia. Dalam hal ini, kekuatan super yang kumaksud tentunya kekuatan dalam menyusun perangkat pembelajaran dan melaksanakan proses pembelajaran secara riil di sekolah. Kalau boleh jujur, sebenarnya behind the scene-nya seorang guru itu repot sekali. Orang awam mungkin hanya menganggap pekerjaan guru hanya mengajarkan materi di sekolah kepada siswa. Sudah. Titik. Hanya itu. Tapi, ternyata salah besar, guys. Pekerjaan guru itu benar-benar berat. Terlebih untuk urusan administrasi pembelajaran. Oh, God, ampun deh!
            Entah karena mantera apa yang kukomat-kamitkan setiap hari, akhirnya aku ditempatkan di MAN Yogyakarta 1 sebagai lokasi PLP-ku. Perasaanku awalnya biasa saja, just a little bit feeling surprised, dan tetap berpikir positif bahwa aku pasti bisa! Tetapi, setelah mendengar desas-desus ­issue yang menyatakan MAN Yogyakarta 1 atau yang akrab dipanggil MANSA adalah MAN nomor satu di Djogdja alias MAN unggulan di seantero bumi Jogja, aku merasa mulai grogi dan gelisah. Oh, man, this is crazy. Siswa-siswi macam apa yang akan kuhadapi nanti? Seperti apakah kehidupan bawah langit di atas bumi MANSA yang akan kujalani selama dua bulan? Bagaimanakah nasibku selama berada di penjara emas itu? Pertanyaan-pertanyaan absurd itu mulai mengaliri pembuluh darah di otakku. Pikiranku bekerja super cepat menggali ruang-ruang abstrak yang tersembunyi dalam sel-sel otakku. Tapi, seperti biasa, lima menit kemudian otakku bereaksi normal kembali tanpa harus merasa cemas yang berlebihan. Everything will be running well and I’ll get success!
            Menjalani masa-masa PLP selama dua bulan bagiku terasa cepat. Ternyata setelah dijalani dengan ikhlas dan sepenuh hati, segalanya memang berjalan lancar dan apa adanya, tidak dibuat-buat, dan tidak full of drama. Mungkin karena sudah terbiasa. Minggu pertama masih agak canggung karena beradaptasi dengan lingkungan madrasah dan kegiatan persekolahan. Minggu kedua, sudah sedikit terbiasa dengan aturan madrasah yang ketat dan aturan dari koordinator persekolahan yang keras. Minggu ketiga dan seterusnya, benar-benar telah terbiasa dengan segala sesuatu yang ada di lingkungan madrasah dan sekitarnya, baik guru dan karyawan, siswa-siswi, serta aturan dan budaya yang berlaku di MANSA.

            Semua hal bila telah dijalani ternyata tidak seseram yang dibayangkan. Menurutku semua normal-normal saja dan ini memberiku pengalaman yang luar biasa, pahit maupun manis. Pahitnya harus rela menjadi pembalap di pagi hari untuk mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di madrasah, membuat perangkat pembelajaran yang seabrek, mengoreksi hasil pekerjaan siswa (tugas & ulangan) yang pada akhirnya menyesakkan dada bila mengetahui hasil yang diperoleh jauh dari harapan (baca: nilai jelek), menghadapi siswa yang susah diatur alias suka rame sendiri, dan harus ikhlas menerima kata-kata sadis dari koordinator persekolahan yang menegur tim PLP bila aktivitas atau pekerjaan kami dirasa kurang memuaskan. Manisnya, aku jadi lebih menghargai waktu dan mendisiplinkan diri dalam segala hal, lebih sabar dan tidak mudah mengedepankan emosi, dapat bergaul dan berkomunikasi dengan bahasa yang sepantasnya kepada guru-guru, lebih menghargai profesi guru yang memang luar biasa berat, lebih dekat pada siswa dan berkomunikasi dengan baik sebagaimana cara berkomunikasi antara kakak-adik, lebih easy-going dalam menjalani hari sekalipun dikejar deadline, serta membuat aku lebih teliti, was-was, dan tidak memandang remeh hal sekecil apa pun. Memang pengalaman yang banyak tersebut tidak lantas mengubahku secara keseluruhan. Namun, at least aku dapat memetik ibrah yang luar biasa dan mendapat pengalaman yang benar-benar hanya terjadi sekali seumur hidup. Aku sungguh menghargai dan mensyukuri fase ini hadir dalam rentang masa aktif hidupku. Tuhan memang Maha Indah. Rencana-Nya selalu tepat sasaran.
            Selama PLP, kelas praktikku mengajar adalah X-C. Memang hanya X-C, karena secara tertulis aku hanya diberi hak praktik mengajar di kelas X-C. Namun, realita di lapangan berbeda, bro. Suatu ketika, guru pamongku mendapat tugas dinas atau apalah namanya selama 10 hari dan hari-hari itu bertepatan dengan jadwalku menjalani UTS di kampus. Jlegg, otomatis semua pekerjaan yang diampu sang guru pamong dilimpahkan kepadaku. It’s really unpredictable. Seperti shock therapy di siang bolong ketika aku mendapati kabar itu. Tapi, Elliza tetaplah Elliza. Wajah tetap terlihat kalem, manis, dan meyakinkan, walaupun hati dan batinnya sudah jumpalitan seperti terbang menggunakan roket sambil meliuk-liuk di udara menuju ke galaksi Andromeda. Setelah melalui jalur negosiasi yang super lancar tanpa kendala, akhirnya yang terjadi pun terjadilah. Aku mengajar di kelas X-A, X-B, X-C, X-D, X-E, X-F, X-G, dan mendampingi praktikum kelas XI IPA 1, XI IPA 2, dan XI IPA 3. 

Memang benar kata guru yang sudah berpengalaman, antara kelas satu dengan kelas yang lain karakteristik siswanya berbeda-beda, tidak mungkin sama. Terbukti. Sebetulnya aku beruntung mendapat kesempatan berlian ini (aku  menghindari kata-kata ‘kesempatan emas’ karena sudah sering digunakan orang). Dengan menggantikan “posisi” sementara sang guru pamong, aku menjadi mudah mengenali karakteristik siswa, lihai menangani siswa yang super kritis, dan lebih bersahabat dengan siswa. Semua siswa kuanggap adik sendiri. Aku pun lebih enjoy membimbing mereka, sesuai dengan style-ku. Rasanya bahagia sekali bila melihat wajah sumringah para siswa ketika bisa memahami materi yang kuajarkan.
            Dari sekian kelas yang pernah ku-cuci-otak, kelas X-C-lah yang paling berkesan bagiku (ya iyalah, kelas praktik sendiri). No, no, I’m just kidding. But swear, honestly I appreciate them. X-C benar-benar spesial dan berbeda dari kelas yang lain. Mereka menamakan kelasnya dengan sebutan “eXCeptional”. Terjemahannya “luar biasa”. Menurutku secara filosofis memang luar biasa karena really different than other class. Siswa-siswanya paling rame, paling kritis, ekslusif, kompak, dan berprestasi. They’re amazing. Secara tidak langsung, mereka justru mengajarkanku tentang arti kesabaran, cocok sekali untukku karena aku ini termasuk pribadi yang galak dan mudah terbakar amarahnya. Mereka selalu sukses membuatku tersenyum dan tertawa riang di balik kekesalan perasaanku terhadap RPP yang harus disusun begitu perfect. Mereka tidak pernah membuatku marah semurka singa yang kelaparan di tengah sabana. Terkadang memang sikap mereka menyebalkan, tapi itu tidak sebanding dengan hiburan psikologis yang kuterima setiap hari. Menyenangkan. Bahagia.

            eXCeptional mengilhamiku dalam memetik pelajaran selama PLP ini. Semua hal yang telah kuperoleh dan terjadi dalam hidupku adalah hal yang luar biasa dan begitu hebatnya mengalir dengan cerita yang tak pernah kusangka sebelumnya. Sehingga ini mengajarkanku bahwa tidak ada celah untukku mengingkari semua nikmat Tuhan yang telah tercurah selama ini. Terima kasih untuk Allah dan semua yang hadir dalam setiap episode kehidupanku.




Bumi Jogja, 10 Desember 2013
10.13 post meridiem
Elliza Efina Rahmawati Putri (10690019)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar