Pendahuluan
Manusia
terlahir dengan membawa akal. Akal atau logika berpikir inilah yang menjadikan
manusia memiliki derajat paling tinggi dibandingkan dengan makhluk Tuhan yang
lain. Dengan akal, manusia diberi kecerdasan berpikir dan keluwesan dalam
menentukan keputusan. Asumsi merupakan bagian dari akal. Setiap orang terbiasa
melakukan asumsi dalam menjalani kehidupannya. Berbagai peristiwa yang terjadi
silih berganti dari hari ke hari membuat manusia berpengalaman dalam melakukan
asumsi. Misalnya, ketika cuaca mulai mendung, orang-orang cenderung
mempersiapkan payung atau mantel bila bepergian. Mereka mengasumsikan akan
terjadinya hujan dengan melihat indikasi langit yang mulai menampakkan awan
mendungnya, sehingga mereka melakukan pencegahan agar tidak kehujanan dengan
membawa payung atau mantel. Padahal dalam hal ini, cuaca yang mendung tersebut
belum tentu akan mendatangkan hujan. Namun, manusia cenderung melakukan asumsi
tersebut berdasarkan pengalaman yang sebelumnya pernah dialami. Atas dasar
pengalaman itulah manusia belajar tentang asumsi.
Definisi Asumsi
Asumsi
adalah suatu pernyataan yang tidak terlihat kebenarannya, atau kemungkinan
benarnya tidak tinggi. Belajar dapat dipahami sebagai penyimpan informasi mulai
dari menerima informasi dari perhatian, pemahaman dan urutan peristiwa langsung
ataupun tak langsung sehingga dapat disimpan melalui ingatan dan direproduksi
untuk menimbulkan motivasi dalam mengingat (Purwandari, 2013).
Asumsi
diperlukan dalam pengembangan ilmu. Tanpa asumsi, anggapan orang atau pihak
tentang realitas bisa berbeda, tergantung pada sudut pandang dan kacamata yang
digunakan. Asumsi merupakan anggapan atau andaian dasar tentang sebuah
realitas. Asumsi adalah anggapan dasar tentang realitas objek yang menjadi
pusat perhatian penelaahan kita. Asumsi merupakan pondasi bagi penyusunan
pengetahuan ilmiah (Suriasumantri, 1984). Selain asumsi yang dimiliki ilmuwan,
ilmu sendiri pada dasarnya memiliki dasar asumsi yang tidak boleh diganggu gugat
agar ilmu bisa tetap berdiri.
Kriteria Kebenaran
Kriteria
kebenaran adalah tanda-tanda yang memungkinkan kita mengetahui kebenaran.
Koherensi dan kepraktisan merupakan contoh kriteria macam ini. Adakalanya consensus gentian (kesepakatan umat
manusia), dianggap sebagai salah satu kriteria kebenaran (Anonim, 2014). Dengan
kata lain, kebenaran merupakan hal yang sudah disepakati sejak awal dan
memiliki makna yang dapat diterima akal sehat maupun yang absurd sesuai dengan
keyakinan manusia.
Asumsi dalam Konteks Keilmuan
Ilmu yang paling maju yaitu fisika. Hal
ini disebabkan oleh fisika memiliki cakupan objek zat, ruang, gerak, dan waktu.
Newton dalam bukunya Philosophiae
Naturalis Principia Mathematica (1686) berasumsi bahwa keempat komponen ini
bersifat absolut. Zat bersifat absolut dan dengan demikian berbeda secara
substantif dengan energi. Sedangkan, Albert Einstein berbeda pendapat dengan
Newton. Dalam The Special Theory of
Relativity (1905), ia berasumsi bahwa keempat komponen itu bersifat
relatif. Tidak mungkin kita mengukur gerak secara absolut. Asumsi dalam ilmu
sosial lebih rumit. Masing-masing ilmu sosial memiliki berbagai asumsi mengenai
manusia.
Purwandari (2013) menjelaskan lebih
lanjut bahwasanya dalam mengembangkan asumsi harus memperhatikan dua hal:
1.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan
tujuan pengkajian disiplin keilmuan. Asumsi yang seperti ini harus operasional
dan merupakan dasar dari pengkajian teoritis.
2.
Asumsi harus disimpulkan dari ‘keadaan
sebagaimana adanya’, bukan ‘bagaimana keadaan yang seharusnya’.
Pembahasan tentang asumsi-asumsi dasar
proses keilmuan manusia dibahas mulai pada spektrum yang paling kiri, yaitu
rasionalisme, sampai ke spektrum yang paling kanan, yaitu intuisionisme.
Pembahasan tentang rasionalisme dimulai dari Descartes sampai kepada Wolff.
Rasionalisme menganggap bahwa sumber pengetahuan manusia adalah rasio.
Berpikirlah yang membentuk pengetahuan. Manusia sebagai subjek timbulnya
pengetahuan, adalah makhluk yang berpikir. Pada gilirannya, berdasarkan
pengetahuan dari hasil berpikir itulah manusia berbuat dan menentukan
tindakannya (Muslih, 2005:52).
Kesimpulan
Keberadaan
asumsi sebagai bagian dari suatu bentuk kebenaran merupakan hal yang sangat
penting karena asumsi berfungsi sebagai bagian mendasar yang harus ada. Asumsi
memiliki posisi di berbagai bidang disiplin ilmu bahkan keberadaan asumsi pun
ada dalam hukum alam. Akan tetapi, berkaitan dengan kebenaran, asumsi ini belum
terbukti dengan pasti dianggap sebagai suatu kebenaran. Hal ini dikarenakan
asumsi tidak memenuhi persyaratan sebagai suatu bentuk kebenaran.
Bibliografi
Anonim. (2014). Definisi Kebenaran.
Diakses dari http://arti-definisi-pengertian.info/definisi-kebenaran/.
1 November 2015.
Muslih, Mohammad. (2005). Filsafat Ilmu:
Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma, dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Belukar.
Purwandari, Elce. (2013). Ontologi:
Metafisika, Asumsi, dan Peluang. Diakses dari https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=7&cad=rja&uact=8&ved=0CEIQFjAGahUKEwi7oOKFm8vIAhXFNJQKHbiLDU0&url=http%3A%2F%2Fwww.unhas.ac.id%2Frhiza%2Farsip%2Fmystudents%2Ffilsafat-iptek%2FBab%25209%2520Yunus%2520dan%2520Halidin.ppt&usg=AFQjCNEG_ZLoXjDZD9QF2zfLEbhwrhEVog&sig2=5qg95Gti2YN3OlNa7JTnMQ&bvm=bv.105454873,d.dGo. 18 Oktober 2015.
Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Agape Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar