Selasa, 12 Januari 2016

Intuisi Sebagai Bagian dari Pengetahuan

Pendahuluan
Intuisi acapkali diartikan sebagai suatu pertanda akan adanya suatu peristiwa. Bagi orang-orang yang memiliki kemampuan khusus seperti indigo, kehadiran intuisi dapat diinterpretasikan sebagai sebuah petunjuk. Namun, tidak sedikit pula yang meyakini bahwa intuisi hanya sebatas perasaan yang belum tentu dapat dibuktikan kebenarannya. Semua bergantung pada persepsi masing-masing.
Intuisi dapat diyakini kebenarannya ketika peristiwa yang terjadi di realita benar-benar menggambarkan hal yang sesungguhnya, yang sebelumnya telah tampak pada intuisi. Intuisi ini sangat bergantung pada sensitivitas perasaan. Taruhlah contoh, seseorang sedang berada di perpustakaan kampus dengan membawa list buku yang akan dibacanya. Akan tetapi, ia terdorong untuk membaca buku X yang tidak ada dalam list yang telah ia rancang. Ternyata di dalam buku tersebut memuat suatu keterangan yang dicarinya selama bertahun-tahun. Dorongan untuk membaca buku X itulah yang dinamakan intuisi.

Definisi Intuisi
Setiap orang pada dasarnya memiliki intuisi, hanya saja tingkat kesensitifannya berbeda-beda. Jadi, tidak hanya orang yang dianugerahi kemampuan khusus saja yang mempunyai intuisi. Sejatinya pengetahuan intuitif bersumber pada naluri atau perasaan seseorang, sehingga intuisi bersifat subjektif.
Aliran yang membahas tentang intuisi disebut intuisionisme. Aliran ini dipelopori oleh Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern. Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi, sebagaimana dikemukakan oleh Muslih (2010:81). Intuisi dikatakan sebagai pengetahuan yang sempurna karena dianggap telah melewati berbagai proses yang berkaitan dengan Tuhan. Intuisi sebagai bisikan hati dipercaya sebagai petunjuk dari Tuhan akan sesuatu.

Penggunaan Intuisi
Bergson mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara harfiah. Intuisi harus dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman. Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan keadaan spontan (Darma: 2010). Intuisi ini tidak memerlukan adanya pemikiran-pemikiran realistis yang membutuhkan banyak pertimbangan karena intuisi sendiri bersifat spontan dan mendadak.
Intuisi, atau yang dalam istilah teknisnya disebut hads merupakan pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika satu demi satu. Selain itu, intuisi atau hads juga merupakan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan eksistensi Tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah intuisi terhadap eksistensi itu sendiri (Hasan, 2012). Bisikan-bisikan yang datang dari tempat yang tidak terduga sebelumnya dapat dikatakan sebagai intuisi. Sumber bisikan tersebut bisa jadi langsung dari Tuhan. Bagi orang-orang tertentu yang telah melakoni berbagai hal yang berkaitan dengan keagamaan atau dengan istilah lain disebut ‘laku prihatin’, sudah tentu intuisi dianggap sebagai hal yang patut dipercaya dan diyakini kebenarannya, sebab datangnya intuisi bukanlah dari sesuatu yang sembarangan.
Kuhn (1970:135) menyatakan bahwa walaupun intuisi bergantung pada pengalaman dan mendekati paradigma lama, ini tidak secara logis dan serta-merta berhubungan dengan suatu hal yang mana pengalaman tersebut dianggap sebagai interpretasi. Malahan, intuisi dan interpretasi bergabung menjadi satu dan mengubahnya menjadi suatu bentuk pengalaman yang kemudian terhubung sedikit demi sedikit kepada paradigma baru yang tidak terlalu kuno.
Satu hal yang dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri manusia. Bergson mau mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Manusia dapat menemukan kepribadiannya dengan berjalannya waktu, dan proses untuk sampai pada perubahan sepertinya sulit untuk berhenti. Dengan intuisi, manusia akan mendapatkan bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu kontinu dan tidak dapat terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu ada kebebasan akan kreativitas. Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional sebagaimana dikemukakan oleh Darma (2010).
Umumnya pengetahuan ini menjadi pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang akan terjadi di masa depan, misalnya tentang ramalan-ramalan akan adanya sesuatu dan akan terjadinya suatu peristiwa. Pengetahuan intuitif ini juga memiliki kategori dan ciri pengetahuan non-ilmiah, di mana sifatnya subjektif, spekulatif, ekspresif, dan aktif (Muhibbuddin: 2011).

Pengetahuan Intuitif
Berkaitan dengan intuisi, yang lebih mendasar dan fundamental dalam meraih hakikat pengetahuan adalah pensucian jiwa dan tazkiyah hati, dan bukan dengan analisa pikiran dan demonstrasi rasional. Intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia, dan memberi banyak tambahan informasi yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan cara yang berbeda dengan yang ditempuh oleh akal maupun indera (Rumi, 1968) sebagaimana dikemukakan oleh Muhibbuddin (2014:10). Pengetahuan intuitif diyakini sebagai pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Istilah ini sebenarnya digunakan tidak lain hanya untuk membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan indera. Artinya, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat diketahui melalui bukti-bukti rasional-empiris, tetapi harus melalui pengalaman langsung. Dan satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat Tuhan adalah jiwa, sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari alam keabadian dan terpasung ke alam dunia sebagaimana dikemukakan oleh Hasan (2012).
Dengan demikian, intuisi bukanlah hal yang salah, tetapi intuisi juga tidak sepenuhnya dapat dianggap benar. Mengingat intuisi tidak dapat diindera, melainkan hanya dapat dirasakan, alangkah lebih baik bila difungsikan dengan bijak tentunya dengan mempertimbangkan hal-hal tertentu dan melihat dari konteksnya.

Kesimpulan
Berbagai peristiwa yang terjadi kadangkala tidak dapat diduga sebelumnya, tetapi tak jarang juga bisa diprediksi. Hal ini bergantung pada pengalaman terdahulu dan kemampuan sensitivitas perasaan seseorang. Kemampuan itulah yang dinamakan intuisi. Pada beberapa peristiwa, intuisi menunjukkan kebenarannya. Namun, bukan berarti kebenaran intuisi ini bersifat mutlak. Justru intuisi ini kebenarannya bersifat tentatif dan relatif. Dalam realitasnya, intuisi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tergantung pada aspek tertentu saat intuisi itu diamati.

Bibliografi
Darma, Atos. (2010). Intuisi dalam Alam Pikiran Barat dan Alam Pikiran Jawa (Sebuah Filsafat Perbandingan). Diakses dari http://www.kompasiana.com/darmawanto/intuisi-dalam-alam-pikiran-barat-dan-alam-pikiran-jawa-sebuah-filsafat-perbandingan_54ff4af0a33311fb4c50f9f4, 9 November 2015.
Hasan, Amin. (2012). Intuisi; Sumber Kebenaran dan Ilmu. Diakses dari http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2012/12/10/2387/intuisi-sumber-kebenaran-dan-ilmu.html, 24 Oktober 2015.
Irawan, Bambang. (2014). Intuisi Sebagai Sumber Pengetahuan: Tinjauan terhadap Pandangan Filosof Islam. Jurnal Teologia Vol. 25 No. 1. Institut Agama Islam Negeri Sumatera Utara.
Kuhn, Thomas S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions: Second Edition. Chicago: The University of Chicago Press.
Muhibbuddin. (2011). Menyikapi Pertentangan Ilmu Intuitif dan Ilmu Empiris. Diakses dari http://www.kompasiana.com/muhibbuddin/menyikapi-pertentangan-ilmu-intuitif-dan-ilmu-empiris_5508f56ca333112b452e3a24, 9 November 2015.

Muslih, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar