Pendahuluan
Intuisi acapkali
diartikan sebagai suatu pertanda akan adanya suatu peristiwa. Bagi orang-orang
yang memiliki kemampuan khusus seperti indigo, kehadiran intuisi dapat
diinterpretasikan sebagai sebuah petunjuk. Namun, tidak sedikit pula yang
meyakini bahwa intuisi hanya sebatas perasaan yang belum tentu dapat dibuktikan
kebenarannya. Semua bergantung pada persepsi masing-masing.
Intuisi dapat
diyakini kebenarannya ketika peristiwa yang terjadi di realita benar-benar
menggambarkan hal yang sesungguhnya, yang sebelumnya telah tampak pada intuisi.
Intuisi ini sangat bergantung pada sensitivitas perasaan. Taruhlah contoh,
seseorang sedang berada di perpustakaan kampus dengan membawa list buku yang akan dibacanya. Akan
tetapi, ia terdorong untuk membaca buku X yang tidak ada dalam list yang telah ia rancang. Ternyata di
dalam buku tersebut memuat suatu keterangan yang dicarinya selama
bertahun-tahun. Dorongan untuk membaca buku X itulah yang dinamakan intuisi.
Definisi Intuisi
Setiap orang
pada dasarnya memiliki intuisi, hanya saja tingkat kesensitifannya
berbeda-beda. Jadi, tidak hanya orang yang dianugerahi kemampuan khusus saja
yang mempunyai intuisi. Sejatinya pengetahuan intuitif bersumber pada naluri
atau perasaan seseorang, sehingga intuisi bersifat subjektif.
Aliran yang
membahas tentang intuisi disebut intuisionisme. Aliran ini dipelopori oleh
Henry Bergson (1859-1941), seorang filosof Perancis modern. Menurutnya, intuisi
merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur
utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan
langsung (intuitif), di samping pengalaman oleh indera. Setidaknya, dalam
beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi,
kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui
intuisi, sebagaimana dikemukakan oleh Muslih (2010:81). Intuisi dikatakan
sebagai pengetahuan yang sempurna karena dianggap telah melewati berbagai
proses yang berkaitan dengan Tuhan. Intuisi sebagai bisikan hati dipercaya
sebagai petunjuk dari Tuhan akan sesuatu.
Penggunaan Intuisi
Bergson
mengatakan bahwa intuisi itu jangan disamakan dengan perasaan dan emosi secara
harfiah. Intuisi harus dilihat sebagai sesuatu yang bergantung pada kemampuan
khusus yang didapatkan dari ilmu non-alam. Intuisi itu sepertinya suatu
tindakan atau rentetan dari tindakan-tindakan yang berasal dari pengalaman.
Intuisi ini hanya bisa didapatkan dengan melepaskan diri dari tuntutan-tuntutan
tindakan, yaitu dengan membenamkan diri dengan keadaan spontan (Darma: 2010).
Intuisi ini tidak memerlukan adanya pemikiran-pemikiran realistis yang
membutuhkan banyak pertimbangan karena intuisi sendiri bersifat spontan dan
mendadak.
Intuisi, atau
yang dalam istilah teknisnya disebut hads
merupakan pemahaman yang diperoleh secara langsung, tanpa perantara, tanpa
rentetan dalil dan susunan kata, serta tanpa melalui langkah-langkah logika
satu demi satu. Selain itu, intuisi atau hads
juga merupakan pemahaman langsung akan kebenaran-kebenaran agama, realitas dan
eksistensi Tuhan. Bahkan dalam tingkatannya yang lebih tinggi, intuisi adalah
intuisi terhadap eksistensi itu sendiri (Hasan, 2012). Bisikan-bisikan yang
datang dari tempat yang tidak terduga sebelumnya dapat dikatakan sebagai
intuisi. Sumber bisikan tersebut bisa jadi langsung dari Tuhan. Bagi
orang-orang tertentu yang telah melakoni berbagai hal yang berkaitan dengan
keagamaan atau dengan istilah lain disebut ‘laku prihatin’, sudah tentu intuisi
dianggap sebagai hal yang patut dipercaya dan diyakini kebenarannya, sebab
datangnya intuisi bukanlah dari sesuatu yang sembarangan.
Kuhn (1970:135)
menyatakan bahwa walaupun intuisi bergantung pada pengalaman dan mendekati
paradigma lama, ini tidak secara logis dan serta-merta berhubungan dengan suatu
hal yang mana pengalaman tersebut dianggap sebagai interpretasi. Malahan,
intuisi dan interpretasi bergabung menjadi satu dan mengubahnya menjadi suatu
bentuk pengalaman yang kemudian terhubung sedikit demi sedikit kepada paradigma
baru yang tidak terlalu kuno.
Satu hal yang
dicapai intuisi dan disebut sebagai objeknya adalah kepribadian diri manusia.
Bergson mau mengatakan bahwa kenyataan absolut itu yang dikuak oleh intuisi
metafisis adalah waktu yang tidak pernah habis. Manusia dapat menemukan
kepribadiannya dengan berjalannya waktu, dan proses untuk sampai pada perubahan
sepertinya sulit untuk berhenti. Dengan intuisi, manusia akan mendapatkan
bentuk pengetahuan yang menyatakan realitas itu kontinu dan tidak dapat
terbagi. Realitas akan selalu berubah karena dalam hidup manusia akan selalu
ada kebebasan akan kreativitas. Pandangan semacam ini sebenarnya ingin mengkritik
pandangan para filsuf terdahulu yang segalanya direfleksikan secara rasional
sebagaimana dikemukakan oleh Darma (2010).
Umumnya
pengetahuan ini menjadi pedoman dan petunjuk tentang sesuatu yang akan terjadi
di masa depan, misalnya tentang ramalan-ramalan akan adanya sesuatu dan akan
terjadinya suatu peristiwa. Pengetahuan intuitif ini juga memiliki kategori dan
ciri pengetahuan non-ilmiah, di mana sifatnya subjektif, spekulatif, ekspresif,
dan aktif (Muhibbuddin: 2011).
Pengetahuan Intuitif
Berkaitan dengan
intuisi, yang lebih mendasar dan fundamental dalam meraih hakikat pengetahuan
adalah pensucian jiwa dan tazkiyah hati, dan bukan dengan analisa pikiran dan
demonstrasi rasional. Intuisi bisa melengkapi pengetahuan rasional dan inderawi
sebagai suatu kesatuan sumber ilmu yang dimiliki manusia, dan memberi banyak
tambahan informasi yang lebih akrab dan partikular tentang sebuah objek dengan
cara yang berbeda dengan yang ditempuh oleh akal maupun indera (Rumi, 1968) sebagaimana
dikemukakan oleh Muhibbuddin (2014:10). Pengetahuan intuitif diyakini sebagai
pengetahuan batin terutama tentang Tuhan. Istilah ini sebenarnya digunakan
tidak lain hanya untuk membedakannya dengan pengetahuan yang diperoleh melalui
akal dan indera. Artinya, pengetahuan tentang Tuhan (hakikat Tuhan) tidak dapat
diketahui melalui bukti-bukti rasional-empiris, tetapi harus melalui pengalaman
langsung. Dan satu-satunya sarana yang dapat digunakan untuk mengetahui hakikat
Tuhan adalah jiwa, sebab ia merupakan bagian dari Tuhan yang terpancar dari
alam keabadian dan terpasung ke alam dunia sebagaimana dikemukakan oleh Hasan
(2012).
Dengan demikian,
intuisi bukanlah hal yang salah, tetapi intuisi juga tidak sepenuhnya dapat
dianggap benar. Mengingat intuisi tidak dapat diindera, melainkan hanya dapat
dirasakan, alangkah lebih baik bila difungsikan dengan bijak tentunya dengan
mempertimbangkan hal-hal tertentu dan melihat dari konteksnya.
Kesimpulan
Berbagai
peristiwa yang terjadi kadangkala tidak dapat diduga sebelumnya, tetapi tak
jarang juga bisa diprediksi. Hal ini bergantung pada pengalaman terdahulu dan
kemampuan sensitivitas perasaan seseorang. Kemampuan itulah yang dinamakan
intuisi. Pada beberapa peristiwa, intuisi menunjukkan kebenarannya. Namun,
bukan berarti kebenaran intuisi ini bersifat mutlak. Justru intuisi ini
kebenarannya bersifat tentatif dan relatif. Dalam realitasnya, intuisi memiliki
kelebihan dan kekurangannya masing-masing, tergantung pada aspek tertentu saat
intuisi itu diamati.
Bibliografi
Darma,
Atos. (2010). Intuisi dalam Alam Pikiran Barat dan Alam Pikiran Jawa (Sebuah
Filsafat Perbandingan). Diakses dari http://www.kompasiana.com/darmawanto/intuisi-dalam-alam-pikiran-barat-dan-alam-pikiran-jawa-sebuah-filsafat-perbandingan_54ff4af0a33311fb4c50f9f4,
9 November 2015.
Hasan,
Amin. (2012). Intuisi; Sumber Kebenaran dan Ilmu. Diakses dari http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2012/12/10/2387/intuisi-sumber-kebenaran-dan-ilmu.html,
24 Oktober 2015.
Irawan,
Bambang. (2014). Intuisi Sebagai Sumber Pengetahuan: Tinjauan terhadap
Pandangan Filosof Islam. Jurnal Teologia Vol. 25 No. 1. Institut Agama Islam
Negeri Sumatera Utara.
Kuhn,
Thomas S. (1970). The Structure of Scientific Revolutions: Second Edition.
Chicago: The University of Chicago Press.
Muhibbuddin.
(2011). Menyikapi Pertentangan Ilmu Intuitif dan Ilmu Empiris. Diakses dari http://www.kompasiana.com/muhibbuddin/menyikapi-pertentangan-ilmu-intuitif-dan-ilmu-empiris_5508f56ca333112b452e3a24,
9 November 2015.
Muslih, Mohammad. (2010). Filsafat Ilmu:
Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Belukar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar