Senin, 14 Juli 2014

Aku Tak Setegar Mereka

Tunanetra.

Bila mendengar kata itu, satu hal yang terbersit di pikiranku: buta, tidak bisa melihat.
Definisi sederhanaku memang hanya itu.
Tunanetra adalah orang yang tidak bisa melihat, secara kasar disebut buta.
Well, di sini aku akan mengangkat tema mengenai tunanetra, khususnya merujuk pada siswa tunanetra.

Aku tertarik untuk mengetahui bagaimana karakter siswa berkebutuhan khusus ini. Nah, salah satu caranya yaitu melalui penelitian yang menjadi tema skripsiku. *capek deeehhh*
-----cukup sudah mukadimahnya, langsung saja kita cekibrot-----

Biar kelihatan resmi, nih aku kutip definisi tunanetra menurut dua orang saja. *gak niat banget -_-*
Anak tunanetra adalah individu yang indera penglihatannya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti orang awas (Murjoko, 2012).
Menurut Lowenfeld (1955:219) dalam Murjoko (2012), klasifikasi anak tunanetra yang didasarkan pada waktu terjadinya ketunanetraan, yaitu:
  1. Tunanetra sebelum dan sejak lahir; yaitu mereka yang sama sekali tidak memiliki pengalaman penglihatan.
  2. Tunanetra setelah lahir atau pada usia kecil; mereka telah memiliki kesan-kesan serta pengalaman visual tetapi belum kuat dan mudah terlupakan.
  3. Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja; mereka telah memiliki kesan-kesan visual dan meninggalkan pengaruh yang mendalam terhadap proses perkembangan pribadi.
  4. Tunanetra pada usia dewasa; pada umumnya mereka yang dengan segala kesadaran mampu melakukan latihan-latihan penyesuaian diri.
  5. Tunanetra dalam usia lanjut; sebagian besar sudah sulit mengikuti latihan-latihan penyesuaian diri.
  6. Tunanetra akibat bawaan.
Di sini aku nggak akan cuap-cuap mengenai definisi tunanetra kok.
Seperti biasa aku hanya mencurahkan pikiran dan perasaanku. *tsaaaaaahhh*

Jadi, pas aku penelitian, aku berhadapan langsung dengan anak-anak penyandang tunanetra.
Dan itu serem, meeeeennnnn.
Nggak cuma siswanya, ada juga guru yang memiliki keterbatasan yang sama.
Sebenernya pas observasi dulu juga udah tahu kalo aku bakal berinteraksi dengan mereka. Tapi feel-nya dapet banget pas penelitian!

Ngobrol secara langsung dengan mereka (siswa & guru), salaman, memperhatikan bagaimana mereka berjalan-membaca-berbicara, itu benar-benar membuatku takjub.
Banyak hal yang bersliweran di pikiranku.
Aku nggak sampai hati mau mengungkapkannya.
Yang menohokku adalah satu hal: bagaimana bisa mereka bertahan hidup dengan keterbatasan yang sangat rumit itu?

Di satu sisi, prihatin. Kasihan, guys. Tapi aku tahu mereka tidak butuh dikasihani. Mereka hanya butuh support; semangat, dukungan, kerja sama, bukan celaan.
Di sisi lain, aku justru berterima kasih kepada mereka karena telah mengajarkanku arti kehidupan yang sebenarnya. Apa? Bersyukur.
Bersyukur bahwa aku diberi indera yang utuh dan berfungsi normal.
Sungguh nggak bisa aku bayangkan kalau aku ada di posisi mereka.
*selebihnya nggak perlu aku deskripsikan kesulitan-kesulitan yang dialami penyandang tunanetra*

Back to topic,
aku menyoroti cara siswa tunanetra belajar.
Tidak jauh berbeda dengan siswa awas, karena mereka masih bisa mendengar penjelasan dengan baik. Mereka masih bisa diajak berinteraksi dengan cara ngobrol, bercanda, mendengarkan musik, dan tanya-jawab santai. Hanya saja mereka tidak bisa melihat siapa yang diajak bicara dan seperti apa objek yang dibicarakan. Berhubung keterbatasan yang mereka miliki terletak pada indera penglihatan, tentunya diperlukan treatment khusus untuk memahamkan materi pembelajaran kepada mereka. Salah satu caranya adalah menggunakan media pembelajaran berupa alat peraga.
Alat peraga sistem tata surya (alat peraga I)
Lembar thermoform sebagai keterangan alat peraga II
Alat peraga II
Mereka sedang belajar membedakan ukuran masing-masing planet dan jaraknya
Mereka membaca lembar thermoform
Di alat peraga terdapat keterangan nama planet dalam huruf Braille. Bulatan-bulatan planet itu bisa dilepas dan dipasang supaya mereka bisa mengurutkannya sendiri.
Mereka lagi dengerin rekaman materi.
Yang berdiri di belakang itu guru fisika. Tapi beliau indera penglihatannya normal kok.

Ehh, biar bagaimana pun, mengajarkan materi fisika untuk siswa tunanetra itu sulitnya ampun-ampunan looohhhhh. Jangan anggap remeh! Aku salut banget nih sama pak gurunya. Beliau sabar banget ngajarin mereka. Padahal mereka itu kritisnya tingkat dewa banget.
Belajar dengan memaksimalkan indera perabaan
Meraba alat peraga, membaca keterangan nama planet dalam huruf Braille
Try it by yourself, bro!
Mari belajar! ^_^
Sepertinya itu saja postingan dariku kali ini. *hampir kehabisan kata-kata*
Anyway, lokasi penelitianku itu di SLB-A YAAT Klaten, Jawa Tengah.
Kalo kepo, silakan googling aja, ntar muncul banyak kok all about SLB-A YAAT.
Heheheheee :D

FYI, kalo mau check skripsiku, bisa mampir di sini.

Semoga coretanku ini dapat bermanfaat untuk para silent readers sekalian. #eh
*macam kaskus aja yaaaa pake silent reader segalaaa*

See you on the next post!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar