Minggu, 01 November 2015

Janji yang Ditepati

Minggu pagi yang cerah ini Anita berencana untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Ia merasa lelah karena selama enam hari sebelumnya disibukkan oleh kegiatan kampus yang menggila, mulai dari kuliah tatap muka di kelas, rapat demi rapat yang diselenggarakan oleh organisasi yang diikutinya, proyek kelompok untuk membantu penelitian dosen, dan berbagai tugas kuliah serta laporan praktikum yang selalu menumpuk di akhir pekan. Jadi, hari libur ini benar-benar dimanfaatkan oleh Anita untuk beristirahat sebelum kembali bertempur dengan aktivitas-aktivitas regulernya tersebut.
Waktu menunjukkan pukul 06.45. Anita belum beranjak dari kasur kesayangannya yang bersprei warna biru langit, warna kesukaannya. Ia sungguh-sungguh berniat untuk istirahat sehari penuh tanpa melakukan kegiatan lain kecuali bermalas-malasan. Karena hal seperti ini merupakan hal yang langka bagi Anita, ia pun memanfaatkan waktu liburnya sebaik mungkin. Tidur, bangun sekejap, tidur lagi, bangun lagi, mengecek smartphone sambil berbaring, dan itu dilakukannya berulang-ulang hingga waktu menunjukkan pukul 09.03.
Tok tok tok...
Pintu kamar Anita diketuk.
“Anita...” Suara ibunya lirih memanggil Anita. Namun, tiada jawaban. Ibunya mencoba untuk membuka handle pintu. Oh, terkunci dari dalam. Anita memang memiliki kebiasaan selalu mengunci kamarnya, berharap agar tidak ada seorang pun yang bisa memasuki kamarnya selagi ia sedang berada di dalam kamar sekalipun itu ibunya sendiri yang ingin menengoknya. Anita belum beranjak dari kasurnya. Sang Ibu tak juga menyerah untuk membangunkan anaknya dengan ketukan pintu dan suara lirih. Akhirnya setelah beberapa kali ketukan dan panggilan, Anita menyerah. Ia merasa terganggu dengan ulah ibunya tersebut. Ia pun membuka pintu kamarnya dengan raut wajah yang kesal.
“Ada apa sih, Bu? Aku ingin istirahat seharian dan tidak ingin diganggu,” ujar Anita sambil mengucek-ucek matanya yang masih merah.
“Kau lupa janjimu, Nak? Katamu kau hari ini bersedia mengantar adikmu latihan taekwondo. Ini sudah pukul sembilan, sayang. Bergegaslah,” Ibu mengingatkan.
“Ah, Ibu. Aku lelah sekali. Aku ingin beristirahat seharian saja di rumah, aku tak ingin ke mana-mana. Bagaimana bila Ayah atau Kak Naya saja yang mengantar Edo ke dojang?” Anita berusaha untuk mempertahankan argumennya. Ia benar-benar tak ingin pergi ke mana pun.
“Ayah dan Ibu akan pergi ke resepsi pernikahan, sayang. Kakakmu sudah pergi sejak tadi, ada acara dengan kawan-kawan proyeknya. Nah, yang benar-benar luang ‘kan kau, sayangku. Lagipula kau sudah berjanji akan mengantar adikmu latihan. Hayo, jangan dilupakan janjinya,” rayu Ibu.
“Kubatalkan janjiku, Bu. Biarkan Edo berangkat sendiri. Dojang juga hanya tiga kilometer dari sini. Tak masalah baginya. Toh dia juga sudah bisa naik motor sendiri.”
“Anita, adikmu itu masih SMP. Terlalu berbahaya bila ia mengendarai motor sendiri. Dia harus diantar, Nak. Ayolah, kau sudah berjanji akan mengantarnya. Tak ada pembatalan janji. Kau harus menepati janjimu. Bergegaslah, sayang. Nanti adikmu bisa terlambat kalau kau tak segera bersiap. Sepulang dari mengantar adikmu ke dojang, kau bisa melanjutkan istirahatmu di rumah, Anita. Ya, sayang?” Ibu tegas dalam memberikan perintah, tetapi masih tetap mampu mempertahankan kelembutan sikapnya. Anita pun tak kuasa untuk menolak permintaan ibunya tersebut. Pada akhirnya ia mengiyakan segala perintah ibunya walaupun dengan perasaan yang kesal, tidak ikhlas, dan dengan wajah yang bersungut-sungut.
“Hhhhh, baik, baik, Ibu. Aku akan mengantar Edo. Aku bisa melakukan dengan cepat.”
Ibu tersenyum menatap anak keduanya tersebut. Ia mengusap rambut anaknya yang masih berantakan dan mengucapkan terima kasih. Kemudian Anita bergegas mandi, berdandan, dan siap untuk mengantar adiknya ke dojang untuk melakukan latihan rutin taekwondo.
~ ~ ~ 0 0 0 ~ ~ ~
Waktu menunjukkan pukul 09.46. Anita dan Edo bersiap untuk pergi ke dojang, tempat latihan rutin taekwondo adiknya. Seperti biasa, Anita mengenakan setelan lengkap seperti masker, sarung tangan, dan jaket. Walaupun jarak antara rumahnya dengan dojang tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kilometer, ia tetap mengenakan helm dan membawa kelengkapan surat berkendara, seperti STNK dan SIM. Selain karena jalan yang dilewati merupakan kawasan tertib lalu lintas, Anita sendiri pada dasarnya memang pribadi yang idealis dan selalu taat peraturan. Lebih tepatnya karena ia tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setidaknya ia telah melakukan pencegahan sebelumnya kalau-kalau hal terburuk itu sampai terjadi. Ia pun selalu cerewet kepada adiknya agar Edo juga mengenakan kelengkapan berkendara walaupun posisinya sebagai orang yang dibonceng. Edo tetap mengenakan jaket dan helm.
Kakak-beradik itu pun siap untuk berangkat. Anita memacu Honda Beat warna biru kesayangannya tersebut dengan kecepatan sedang, sekitar 40-50 km/jam. Kondisi jalan raya lumayan padat waktu itu. Oh, ini hari libur, pantas saja jalanannya ramai, pikir Anita. Ia tidak mau kebut-kebutan. Sekalipun ia memang kesal karena ekspektasi liburnya dikacaukan oleh pemenuhan janji untuk mengantar adiknya, Anita masih tetap bisa menggunakan akal sehatnya dengan baik. Logikanya masih menang dan untungnya ia memiliki sifat sabar dalam menghadapi situasi yang menjengkelkan, paling tidak ia mampu untuk mengendalikan emosi. Baginya keselamatan itu nomor satu. Sampai di tempat tujuan dengan sehat dan selamat adalah tujuan utama. Lagipula dengan kondisi jalan yang padat seperti ini, mana mungkin mau memacu kendaraan dengan kecepatan tinggi? Terbang saja sekalian.
Berpacu dengan kecepatan sedang seperti ini, tidak lantas membuat kakak-beradik tersebut terlambat sampai tujuan. Anita sudah memperkirakan untuk tiba di dojang tepat waktu, yaitu sekitar pukul 10.00. Benar saja, ia tiba di lokasi tepat pukul 09.58 dan ia tidak perlu terburu-buru dalam berkendara. Sesampainya di dojang, Edo berpamitan kepada Anita dan berpesan untuk dijemput pukul 12.30.
“Hati-hati ya, Kak Nita,” pesan Edo kepada kakaknya sesaat sebelum Anita kembali pulang ke rumah. “Okay,” jawab Anita singkat.
~ ~ ~ 0 0 0 ~ ~ ~
Anita melaju santai dengan kecepatan sedang, sama seperti saat ia berangkat mengantar adiknya tadi. Di separuh perjalanan ia melihat jarum indikator bahan bakar berada pada posisi tengah, artinya separuh tangki telah kosong. Ia kemudian mengarahkan diri menuju SPBU terdekat. Anita memiliki kebiasaan untuk mengisi bahan bakar ketika jarum indikatornya berada pada posisi setengah. Ia tak pernah menunggu tangkinya benar-benar kosong untuk kemudian baru diisi bahan bakarnya. Anita ingat bahwa bila terlambat mengisi bahan bakar atau mengisi bahan bakar dalam kondisi tangki kosong, dapat memberikan dampak yang serius pada filter, pompa bahan bakar, dan injektor. Selain itu, dapat menyebabkan korosi lebih cepat pada tangkinya. Hmm, tentu saja nona perfeksionis ini tak ingin hal-hal mengerikan tersebut terjadi pada motor kesayangannya yang telah menemaninya melanglang buana ke sana-kemari selama kurang lebih dua tahun ini.
Sesampainya di SPBU, Anita cukup terkejut karena antreannya lumayan panjang. Tak apalah, bisa menunggu, pikirnya. Anita mematikan mesin motornya selagi menanti. Jika antreannya bergerak maju, ia menuntun kendaraannya tersebut tanpa menghidupkan mesinnya. Di tengah-tengah proses menanti giliran mengisi bahan bakar,  tiba-tiba terdengar suara dentuman keras.
BRAKKK!!!
Semua perhatian tertuju pada arah sumber suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari jalan tepat di depan SPBU. Beberapa orang langsung berhambur ke TKP. Terjadi kecelakaan antara dua motor dari arah yang saling berlawanan. Satu motor dikendarai oleh seorang wanita paruh baya, sementara motor yang lain dikendarai oleh seorang anak SMP. Anak SMP ini adalah kawan Edo! Anak ini tidak mengenakan kelengkapan berkendara. Belum memiliki SIM, tidak mengenakan helm, dan melaju dengan kecepatan cukup tinggi hingga kehilangan keseimbangan, sampai pada akhirnya menabrak wanita paruh baya yang melaju dari arah berlawanan. Beruntung, keduanya tidak mengalami luka parah. Si anak SMP menderita luka lecet di bagian kaki kanan, pelipis kanan, dan siku kanan, sementara si wanita paruh baya hanya jatuh terpental ke sisi kiri jalan dengan menderita luka lecet di lutut kirinya. Kondisi fisik keduanya tidak terlalu parah, akan tetapi kondisi motor keduanya lumayan rusak berat. Orang-orang yang berkerumun terlihat sibuk menolong para korban, menghubungi polisi dan ambulans, agar keduanya bisa mendapatkan pertolongan lebih lanjut.
Anita yang melihat kejadian tersebut langsung teringat kepada Edo. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak bisa membayangkan seandainya tadi ia tidak bersedia mengantarkan Edo dan membiarkan adiknya mengendarai motor sendiri. Bagaimana jadinya bila anak SMP yang mengalami laka lantas itu adalah adiknya? Bagaimana jika janjinya mengantarkan Edo ia batalkan sepihak hanya karena alasan ingin beristirahat seharian di rumah? Bagaimana bila ...?
Berbagai imajinasi menari-nari di kepala Anita. Betapa bersyukurnya ia sebab telah meninggalkan keegoisannya untuk bermalas-malasan di rumah. Ia banyak mengambil hikmah dari peristiwa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Satu hal yang terpenting: janji itu memang seharusnya ditepati. Ternyata ini adalah hal yang terjadi di balik janji yang disepakatinya tempo hari dengan adiknya untuk mengantar latihan di dojang. Hal lain yang dapat dipetik pelajaran dari peristiwa ini yaitu kesadaran berkendara. Anita selalu berpegang pada keyakinan untuk memastikan segala sesuatunya lengkap sebelum beranjak pergi berkendara. SIM, STNK, kondisi kendaraan, dan kondisi fisik (kesehatan) pengendara sangat penting untuk diperhatikan. Sebisa mungkin berbagai persiapan tersebut dilakukan sematang mungkin. Setidaknya dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Anak SMP yang menjadi korban laka lantas itu adalah kawan Edo, mereka seumuran. Seharusnya usia anak SMP belum diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor sendiri. Harus ada yang mendampingi sebagai orang yang memboncengkan. Anak seusia Edo belum memiliki SIM, belum berhak untuk mengendarai motor karena kematangan emosinya belum stabil dan kelihaian dalam berkendara belum begitu terlatih. Mata hati Anita benar-benar dibukakan berkat kejadian barusan. Dalam hati, ia sungguh berterima kasih kepada ibunya yang tidak berputus asa mengingatkan Anita tentang janjinya. Janji untuk mengantarkan adiknya. Kelihatannya memang sepele. Namun, ternyata hal ini menyimpan hikmah yang begitu besar bagi Anita. Ia berbisik dalam batinnya, semoga kesadaran dalam berkendara ini senantiasa terbersit dalam sanubari para pengendara sepeda motor. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi ketika hidup kita berada di atas roda sepeda motor. Kita harus selalu berhati-hati, berdoa, berharap segala sesuatu berjalan dengan lancar, dan mengupayakan agar selamat sampai tujuan. Anita menghela napas dan mengucap beribu-ribu syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan oleh-Nya.

~ ~ ~ 0 0 0 ~ ~ ~


Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen 'Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst
Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar