Tidak semua kabar bahagia membuahkan rasa senang dalam jiwa. Ada hati yang patah di baliknya. Rasa kesal, iri, turut suka cita bercampur menjadi satu. Tidak enak rasanya. Sampai-sampai air mata yang jatuh ke pipi tidak memberikan definisi apapun, senang atau sedih.
Keikhlasan pun diuji. Segala teori yang tertanam di otak dan terhujam di hati mulai dipraktikkan di dunia nyata. Tidak semudah yang dibayangkan. Butuh jiwa yang sungguh tegar, mental yang sangat kuat, dan keyakinan yang begitu besar untuk menghidupkan raksasa ikhlas ini. Tidak semudah itu. Tidak semudah itu. Tidak semudah itu.
Pada dasarnya aku percaya bahwa ketetapan Tuhan itu absolut. Tuhan pasti memberikan jalan yang paling baik bagi makhluk-Nya. Hanya saja untuk perkara nasib yang bisa diusahakan, aku sedikit skeptis. Terkadang aku merasa upayaku telah maksimal, doaku yang terpanjat juga terhitung dengan frekuensi sangat sering, motivasi dan keyakinan diriku pun tanpa batas. Namun, ketok palu dari Tuhan memberikan vonis untukku dengan jawaban: tidak. Tidak untuk saat ini. Barangkali di lain waktu masih bisa kuperoleh kesempatan itu. Barangkali.
Lihat, bahkan untuk saat-saat kritis seperti ini pun aku masih menyalakan harapan. Bukan apa-apa, aku hanya menghibur diri. Terlalu singkat rasanya umur ini bila hanya dihabiskan untuk meratap. Akan tetapi, sungguh, ini sulit sekali bagiku. Rasa sesak yang tersimpan di hati masih terasa.
Sesungguhnya aku tidak ingin memelihara rasa sakit di hati. Bukan inginku. Bahkan aku berupaya untuk mengusirnya. Tapi, semakin keras kuupayakan, semakin ia menguatkan ikatannya di dalam hatiku. Oh, beratnya. Oh, pahitnya. Dan pada akhirnya hanya satu penyembuh sementara bagiku untuk meredakan setiap gejolak rasa sakit itu: mengelus-elus kucing peliharaanku di rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar