Minggu pagi yang
cerah ini Anita berencana untuk menghabiskan waktu di rumah saja. Ia merasa
lelah karena selama enam hari sebelumnya disibukkan oleh kegiatan kampus yang
menggila, mulai dari kuliah tatap muka di kelas, rapat demi rapat yang
diselenggarakan oleh organisasi yang diikutinya, proyek kelompok untuk membantu
penelitian dosen, dan berbagai tugas kuliah serta laporan praktikum yang selalu
menumpuk di akhir pekan. Jadi, hari libur ini benar-benar dimanfaatkan oleh
Anita untuk beristirahat sebelum kembali bertempur dengan aktivitas-aktivitas
regulernya tersebut.
Waktu menunjukkan
pukul 06.45. Anita belum beranjak dari kasur kesayangannya yang bersprei
warna biru langit, warna kesukaannya. Ia sungguh-sungguh berniat untuk
istirahat sehari penuh tanpa melakukan kegiatan lain kecuali bermalas-malasan.
Karena hal seperti ini merupakan hal yang langka bagi Anita, ia pun memanfaatkan
waktu liburnya sebaik mungkin. Tidur, bangun sekejap, tidur lagi, bangun lagi,
mengecek smartphone sambil berbaring,
dan itu dilakukannya berulang-ulang hingga waktu menunjukkan pukul 09.03.
Tok tok tok...
Pintu kamar Anita
diketuk.
“Anita...” Suara ibunya
lirih memanggil Anita. Namun, tiada jawaban. Ibunya mencoba untuk membuka handle pintu. Oh, terkunci dari dalam.
Anita memang memiliki kebiasaan selalu mengunci kamarnya, berharap agar tidak
ada seorang pun yang bisa memasuki kamarnya selagi ia sedang berada di dalam
kamar sekalipun itu ibunya sendiri yang ingin menengoknya. Anita belum beranjak
dari kasurnya. Sang Ibu tak juga menyerah untuk membangunkan anaknya dengan
ketukan pintu dan suara lirih. Akhirnya setelah beberapa kali ketukan dan
panggilan, Anita menyerah. Ia merasa terganggu dengan ulah ibunya tersebut. Ia
pun membuka pintu kamarnya dengan raut wajah yang kesal.
“Ada apa sih, Bu? Aku
ingin istirahat seharian dan tidak ingin diganggu,” ujar Anita sambil mengucek-ucek
matanya yang masih merah.
“Kau lupa janjimu,
Nak? Katamu kau hari ini bersedia mengantar adikmu latihan taekwondo. Ini sudah
pukul sembilan, sayang. Bergegaslah,” Ibu mengingatkan.
“Ah, Ibu. Aku lelah
sekali. Aku ingin beristirahat seharian saja di rumah, aku tak ingin ke
mana-mana. Bagaimana bila Ayah atau Kak Naya saja yang mengantar Edo ke dojang?”
Anita berusaha untuk mempertahankan argumennya. Ia benar-benar tak ingin pergi
ke mana pun.
“Ayah dan Ibu akan
pergi ke resepsi pernikahan, sayang. Kakakmu sudah pergi sejak tadi, ada acara
dengan kawan-kawan proyeknya. Nah, yang benar-benar luang ‘kan kau, sayangku. Lagipula
kau sudah berjanji akan mengantar adikmu latihan. Hayo, jangan dilupakan
janjinya,” rayu Ibu.
“Kubatalkan janjiku,
Bu. Biarkan Edo berangkat sendiri. Dojang juga hanya tiga kilometer dari sini. Tak
masalah baginya. Toh dia juga sudah bisa naik motor sendiri.”
“Anita, adikmu itu
masih SMP. Terlalu berbahaya bila ia mengendarai motor sendiri. Dia harus
diantar, Nak. Ayolah, kau sudah berjanji akan mengantarnya. Tak ada pembatalan
janji. Kau harus menepati janjimu. Bergegaslah, sayang. Nanti adikmu bisa
terlambat kalau kau tak segera bersiap. Sepulang dari mengantar adikmu ke
dojang, kau bisa melanjutkan istirahatmu di rumah, Anita. Ya, sayang?” Ibu
tegas dalam memberikan perintah, tetapi masih tetap mampu mempertahankan
kelembutan sikapnya. Anita pun tak kuasa untuk menolak permintaan ibunya
tersebut. Pada akhirnya ia mengiyakan segala perintah ibunya walaupun dengan
perasaan yang kesal, tidak ikhlas, dan dengan wajah yang bersungut-sungut.
“Hhhhh, baik, baik,
Ibu. Aku akan mengantar Edo. Aku bisa melakukan dengan cepat.”
Ibu tersenyum menatap
anak keduanya tersebut. Ia mengusap rambut anaknya yang masih berantakan dan
mengucapkan terima kasih. Kemudian Anita bergegas mandi, berdandan, dan siap untuk
mengantar adiknya ke dojang untuk melakukan latihan rutin taekwondo.
~ ~ ~ 0 0
0 ~ ~ ~
Waktu menunjukkan pukul
09.46. Anita dan Edo bersiap untuk pergi ke dojang, tempat latihan rutin
taekwondo adiknya. Seperti biasa, Anita mengenakan setelan lengkap seperti
masker, sarung tangan, dan jaket. Walaupun jarak antara rumahnya dengan dojang
tidak terlalu jauh, hanya sekitar tiga kilometer, ia tetap mengenakan helm dan
membawa kelengkapan surat berkendara, seperti STNK dan SIM. Selain karena jalan
yang dilewati merupakan kawasan tertib lalu lintas, Anita sendiri pada dasarnya
memang pribadi yang idealis dan selalu taat peraturan. Lebih tepatnya karena ia
tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setidaknya ia telah
melakukan pencegahan sebelumnya kalau-kalau hal terburuk itu sampai terjadi. Ia
pun selalu cerewet kepada adiknya agar Edo juga mengenakan kelengkapan
berkendara walaupun posisinya sebagai orang yang dibonceng. Edo tetap
mengenakan jaket dan helm.
Kakak-beradik itu pun
siap untuk berangkat. Anita memacu Honda Beat warna biru kesayangannya tersebut
dengan kecepatan sedang, sekitar 40-50 km/jam. Kondisi jalan raya lumayan padat
waktu itu. Oh, ini hari libur, pantas saja jalanannya ramai, pikir Anita. Ia
tidak mau kebut-kebutan. Sekalipun ia memang kesal karena ekspektasi liburnya
dikacaukan oleh pemenuhan janji untuk mengantar adiknya, Anita masih tetap bisa
menggunakan akal sehatnya dengan baik. Logikanya masih menang dan untungnya ia
memiliki sifat sabar dalam menghadapi situasi yang menjengkelkan, paling tidak
ia mampu untuk mengendalikan emosi. Baginya keselamatan itu nomor satu. Sampai di
tempat tujuan dengan sehat dan selamat adalah tujuan utama. Lagipula dengan
kondisi jalan yang padat seperti ini, mana mungkin mau memacu kendaraan dengan
kecepatan tinggi? Terbang saja sekalian.
Berpacu dengan kecepatan
sedang seperti ini, tidak lantas membuat kakak-beradik tersebut terlambat
sampai tujuan. Anita sudah memperkirakan untuk tiba di dojang tepat waktu,
yaitu sekitar pukul 10.00. Benar saja, ia tiba di lokasi tepat pukul 09.58 dan
ia tidak perlu terburu-buru dalam berkendara. Sesampainya di dojang, Edo
berpamitan kepada Anita dan berpesan untuk dijemput pukul 12.30.
“Hati-hati ya, Kak
Nita,” pesan Edo kepada kakaknya sesaat sebelum Anita kembali pulang ke rumah. “Okay,” jawab Anita singkat.
~ ~ ~ 0 0
0 ~ ~ ~
Anita melaju santai
dengan kecepatan sedang, sama seperti saat ia berangkat mengantar adiknya tadi.
Di separuh perjalanan ia melihat jarum indikator bahan bakar berada pada posisi
tengah, artinya separuh tangki telah kosong. Ia kemudian mengarahkan diri
menuju SPBU terdekat. Anita memiliki kebiasaan untuk mengisi bahan bakar ketika
jarum indikatornya berada pada posisi setengah. Ia tak pernah menunggu
tangkinya benar-benar kosong untuk kemudian baru diisi bahan bakarnya. Anita
ingat bahwa bila terlambat mengisi bahan bakar atau mengisi bahan bakar dalam
kondisi tangki kosong, dapat memberikan dampak yang serius pada filter, pompa
bahan bakar, dan injektor. Selain itu, dapat menyebabkan korosi lebih cepat
pada tangkinya. Hmm, tentu saja nona perfeksionis ini tak ingin hal-hal
mengerikan tersebut terjadi pada motor kesayangannya yang telah menemaninya
melanglang buana ke sana-kemari selama kurang lebih dua tahun ini.
Sesampainya di SPBU,
Anita cukup terkejut karena antreannya lumayan panjang. Tak apalah, bisa
menunggu, pikirnya. Anita mematikan mesin motornya selagi menanti. Jika antreannya
bergerak maju, ia menuntun kendaraannya tersebut tanpa menghidupkan mesinnya. Di
tengah-tengah proses menanti giliran mengisi bahan bakar, tiba-tiba terdengar suara dentuman keras.
BRAKKK!!!
Semua perhatian
tertuju pada arah sumber suara tersebut. Ternyata suara itu berasal dari jalan
tepat di depan SPBU. Beberapa orang langsung berhambur ke TKP. Terjadi kecelakaan
antara dua motor dari arah yang saling berlawanan. Satu motor dikendarai oleh
seorang wanita paruh baya, sementara motor yang lain dikendarai oleh seorang
anak SMP. Anak SMP ini adalah kawan Edo! Anak ini tidak mengenakan kelengkapan
berkendara. Belum memiliki SIM, tidak mengenakan helm, dan melaju dengan
kecepatan cukup tinggi hingga kehilangan keseimbangan, sampai pada akhirnya
menabrak wanita paruh baya yang melaju dari arah berlawanan. Beruntung,
keduanya tidak mengalami luka parah. Si anak SMP menderita luka lecet di bagian
kaki kanan, pelipis kanan, dan siku kanan, sementara si wanita paruh baya hanya
jatuh terpental ke sisi kiri jalan dengan menderita luka lecet di lutut
kirinya. Kondisi fisik keduanya tidak terlalu parah, akan tetapi kondisi motor keduanya
lumayan rusak berat. Orang-orang yang berkerumun terlihat sibuk menolong para
korban, menghubungi polisi dan ambulans, agar keduanya bisa mendapatkan
pertolongan lebih lanjut.
Anita yang melihat
kejadian tersebut langsung teringat kepada Edo. Jantungnya berdegup kencang. Ia
tidak bisa membayangkan seandainya tadi ia tidak bersedia mengantarkan Edo dan membiarkan
adiknya mengendarai motor sendiri. Bagaimana jadinya bila anak SMP yang
mengalami laka lantas itu adalah adiknya? Bagaimana jika janjinya mengantarkan
Edo ia batalkan sepihak hanya karena alasan ingin beristirahat seharian di rumah?
Bagaimana bila ...?
Berbagai
imajinasi menari-nari di kepala Anita. Betapa bersyukurnya ia sebab telah
meninggalkan keegoisannya untuk bermalas-malasan di rumah. Ia banyak mengambil
hikmah dari peristiwa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Satu hal
yang terpenting: janji itu memang seharusnya ditepati. Ternyata ini adalah hal
yang terjadi di balik janji yang disepakatinya tempo hari dengan adiknya untuk
mengantar latihan di dojang. Hal lain yang dapat dipetik pelajaran dari
peristiwa ini yaitu kesadaran berkendara. Anita selalu berpegang pada keyakinan
untuk memastikan segala sesuatunya lengkap sebelum beranjak pergi berkendara.
SIM, STNK, kondisi kendaraan, dan kondisi fisik (kesehatan) pengendara sangat penting
untuk diperhatikan. Sebisa mungkin berbagai persiapan tersebut dilakukan
sematang mungkin. Setidaknya dapat mencegah atau meminimalisir terjadinya
kecelakaan lalu lintas di jalan raya. Anak SMP yang menjadi korban laka lantas
itu adalah kawan Edo, mereka seumuran. Seharusnya usia anak SMP belum
diperbolehkan mengendarai kendaraan bermotor sendiri. Harus ada yang
mendampingi sebagai orang yang memboncengkan. Anak seusia Edo belum memiliki
SIM, belum berhak untuk mengendarai motor karena kematangan emosinya belum
stabil dan kelihaian dalam berkendara belum begitu terlatih. Mata hati Anita
benar-benar dibukakan berkat kejadian barusan. Dalam hati, ia sungguh berterima
kasih kepada ibunya yang tidak berputus asa mengingatkan Anita tentang
janjinya. Janji untuk mengantarkan adiknya. Kelihatannya memang sepele. Namun,
ternyata hal ini menyimpan hikmah yang begitu besar bagi Anita. Ia berbisik
dalam batinnya, semoga kesadaran dalam berkendara ini senantiasa terbersit
dalam sanubari para pengendara sepeda motor. Karena kita tidak akan pernah tahu
apa yang akan terjadi ketika hidup kita berada di atas roda sepeda motor. Kita
harus selalu berhati-hati, berdoa, berharap segala sesuatu berjalan dengan
lancar, dan mengupayakan agar selamat sampai tujuan. Anita menghela napas dan
mengucap beribu-ribu syukur kepada Tuhan atas keselamatan yang diberikan
oleh-Nya.
~ ~ ~ 0 0
0 ~ ~ ~
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen '
Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.' #SafetyFirst
Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com