"Aku tak mau menunggu lagi. Menunggu membuatku kesal. Itu hanya membuang-buang waktu. Aku tak ingin waktuku sia-sia hanya karena menunggu terlalu lama. Bagaimana bila penantianku pada akhirnya tak membawa hasil? Bukankah itu hanya akan mengecewakanku?"
"Sudah dua puluh menit pesananku tak juga datang. Apa pelayannya lupa? Pesananku 'kan sederhana saja, sepiring nasi ayam goreng dengan sambal bawang dan segelas es
lemon tea. Selama itukah penyajiannya? Huh, benar-benar pelayanan yang tak profesional. Membuat kesal pelanggan adalah hal terburuk!"
"Sesungguhnya aku ingin sekali mengikuti ajakan kawanku untuk mendaki gunung. Merbabu. Ya, gunung yang setiap hari dapat kulihat di depan rumahku, namun sayangnya aku sama sekali belum pernah menjejakkan kaki di sana. Sayang sekali. Ide kawanku untuk mengajakku ke sana sebenarnya adalah ide bagus. Tentu ini akan jadi pengalaman baru bagiku. Tapi, aku takut. Kalau aku meminta izin kedua orangtuaku, sudah tentu aku tidak diizinkan. Belum lagi nanti pasti menerima omelan ini lah, itu lah. Haaahh, aku enggan sekali mendengarnya. Lagipula aku juga tidak memiliki persiapan yang matang untuk mendaki gunung. Tas, sepatu,
sleeping bag, tenda, atau peralatan kecil-kecil yang dibutuhkan selama pendakian. Ah, repot sekali."
"Teman sekelasku itu menyebalkan sekali. Ia hanya menghubungiku di saat ia butuh. Untuk membantunya menerjemahkan
essay berbahasa Inggris itu. Kenapa tidak ia coba untuk menerjemahkan sendiri sih? Merepotkanku saja! Waktuku menjadi tersita begitu saja."
"Mereka kalau berkumpul kenapa selalu berbisik-bisik yah? Apa mereka membicarakanku? Takut kalau terdengar olehku? Aku salah apa sih? Oh, mungkin karena aku jarang bergaul dengan mereka atau tingkahku yang antisosial inilah penyebabnya."
"Berkumpul dengan teman-teman lelaki sebenarnya adalah hal bagus. Terkadang ini bisa jadi
moodbooster bagiku. Namun, satu hal yang aku tak suka: candaan mereka. Sama sekali tak berperasaan! Menyakitkan! Mereka seperti tak punya hati, tak bisa menghargai perasaan orang lain."
"Aku tak suka bila harus menjalin hubungan jarak jauh dengan kekasihku. Jarak seakan menjadi benteng pemisah yang nyata bagiku. Aku takut nanti ia berbagi cintanya. Di saat aku di sini mengkhawatirkan dirinya, di sana ia malah bercengkerama dengan perempuan lain yang aku tak tahu siapa. Aku tak ingin itu terjadi. Apalagi di saat ia lama sekali membalas BBM-ku. Beribu prasangka berkelebat di pikiranku. Apa yang sedang dilakukannya di sana? Jangan-jangan ia sedang menikmati secangkir kopi di kedai ditemani seorang perempuan. Oh, sial!"
"Seorang temanku suatu kali pernah menceritakan tentang salah satu kelakuan burukku, tapi ia tidak mengatakan secara detil kelakuan apa yang telah kulakukan. Ini sungguh membuatku bertanya-tanya. Seakan-akan kelakuan burukku itu sudah menjadi konsumsi publik. Bagaimana ia bisa tahu? Kalau dia tahu, kenapa ia tidak mengatakan secara gamblang saja kepadaku, di hadapanku? Menyebalkan sekali!"
"Aku tak akan pergi ke mana-mana. Percuma menjelaskan. Yang ada di pikiran mereka, aku hanya tak tahu diri. Sudahlah, memang lebih baik aku tetap berdiam diri di rumah. Lagipula bila aku tetap pergi, selama perjalanan atau di tempat tujuan aku hanya ditelepon atau di-SMS. Lalu buat apa mereka mempercayaiku? Sia-sia saja."
"Aku suka sekali
stalking. Sebenarnya aku tahu pada akhirnya aku akan merasa iri, sakit hati, bahkan merasa jengkel dengan mereka. Mereka inilah orang-orang yang bagiku menyebalkan. Entahlah. Gaya pamer mereka itu loh. Sok bangeeeetttt! Aku tak berniat untuk menyaingi, apalagi berupaya untuk 'menjadi' seperti mereka. Merugikan identitasku!"
"Hampir setahun semenjak aku resmi menyandang predikat sebagai sarjana. Sampai sekarang aku belum menjadi pegawai pemerintahan seperti yang diidam-idamkan orangtuaku. Kucoba untuk melamar pekerjaan sebagai karyawan swasta, dilarang. Sebagai pekerja lepas, semakin terlarang! Apalagi pekerjaan sampingan kecil-kecilan seperti menjadi tentor atau penulis lepas, hanya membuang-buang waktu dan tenaga, pikir mereka. Aku merasa terjebak dalam lingkaran setan. Haruskah aku terus-terusan seperti ini sampai nanti yang aku pun tak tahu kapan? Rasa-rasanya berbicara pun sia-sia. Kapan suaraku didengar? Yang ada aku nanti hanya akan menerima omelan, nasihat, petuah yang aku tak paham maksudnya. Itu yang membuatku enggan bicara. Percuma."
|
inilah yang sedang kualami |
Rentetan peristiwa di atas bukan fiktif belaka. Haha =D
Semua terinspirasi dari kisah nyata. Itu adalah beberapa kejadian yang pernah singgah di pikiranku. (
Well, aku malah mengungkap ketidakberesan pikiranku kalau seperti ini caranya -____-)
Tapi, ini gila sekali! Maksudku, ini seperti bagian dari pikiranku yang lain. Aku tak tahu mengapa ini bisa terjadi dalam hidupku. Aku memiliki kecenderungan untuk berpikir yang berlebihan, bahkan imajinasiku terlalu liar, terbayang akan sesuatu yang sangat mustahil. Sampai-sampai hal ini sangat mengacaukanku. Kekhawatiran-kekhawatiran yang terpikir olehku pada akhirnya memang tidak terjadi, tidak nyata, hanya ilusi yang kuciptakan sendiri. Oh, Tuhan... Sakit sekali rasanya. Apa yang sakit? Otak dan hatiku.
|
kebiasaan berpikirku |
Sering sekali aku berprasangka tentang orang lain dan tentang diriku-sendiri. Meskipun di lisan aku selalu meyakinkan bahwa 'semua baik-baik saja' atau 'nanti tidak seperti itu kok', di dalam pikiranku terbersit juga hal-hal buas yang mengancam kehidupan riilku. Aku bingung dengan aku sendiri. Semacam ada pertentangan batin antara yang telah kuucapkan dengan yang telah kupikirkan.
|
ini saran yang baik untukku |
Ke-lebay-an berpikirku berawal dari rasa berharapku dan kekecewaanku. Keduanya saling berpadu. Aku mengharapkan tentang sesuatu, tetapi aku takut sesuatu itu tidak berjalan secara semestinya sehingga yang aku peroleh hanya kekecewaan. Ibarat aku ingin sekali melangkahkan kaki untuk maju, namun berbagai perasaan dan perkiraan itu menuntunku untuk mundur agar aku tidak tersandung, terjatuh, terjerembab, dan lain-lain. Seperti itu.
|
dan ini benar-benar masukan yang sangat sangat sangat baik untukku |
*menghela napas panjang*
Semakin ke sini aku pun semakin paham bahwasanya yang aku perlukan hanyalah
just breathe dan
go with the flow. Selama ini aku hanya dipermainkan oleh pikiran yang kuciptakan sendiri. Padahal itu tidak terjadi di dunia nyata. Aku melebih-lebihkan. Oh, sungguh aku merugikan diriku-sendiri karena pikiranku sendiri. Aku harus belajar banyak. Belajar untuk mengendalikan pikiran. Dan perasaan. Semoga aku bisa menapaki jalan yang jauh lebih baik. Aamiin.