Rabu, 10 Juni 2015

Sepatah Dua Patah Kata Atas Kegagalanku

Sore ini aku memandangi langit biru bersemu merah yang terbentang di ufuk barat sana. Sesekali kulihat gunung kokoh yang menjulang, sawah-sawah yang menghijau, pepohonan rindang yang menyejukkan mata (dan perasaan), dan kunikmati sepoi angin yang menyentuh wajahku perlahan. Tak ketinggalan pula setelan lagu-lagu band favoritku - Evanescence kumainkan untuk mengimbangi suasana hatiku.

Aku menikmati momen ini sambil berjalan-jalan di kebun samping rumah sehingga aku leluasa untuk bergerak. Ditemani dua ekor kucing kembarku pula. Jadi, sembari menikmati suasana sore yang bagiku absurd sekali tapi entahlah, aku bisa bermain bersama mereka; mengelus-elus bulu di tubuh mereka sampai mereka merasa nyaman keenakan; menyaksikan mereka saling gigit, saling cakar, saling berantem. Oh, sungguh kenikmatan mana lagi yang aku dustakan?

Sebenarnya aku hanya memanfaatkan momen untuk melupakan kenyataan yang terpampang di depan mataku barang sejenak. Aku sedang dalam keadaan yang tidak baik-baik saja, meskipun aku selalu meyakinkan bahwa "aku baik-baik saja". Aku selalu mengatakan dan menjelaskan kepada siapapun yang menanyakan kabarku bahwa aku baik-baik saja, I'm fine, I'm very well, I'm okay. Aku berterima kasih juga atas upaya mereka membesarkan hatiku. Akan tetapi, aku tahu, jauh di lubuk hatiku aku sungguh merasa terpukul. Ini berat, menyesakkan, menyakitkan, dan mengecewakan. Karena bukan hanya aku yang merasa kecewa terhadap diriku-sendiri, ada kedua orangtuaku. Mereka berdua sempat berpengharapan besar pula dan turut membantuku dengan doa-doa yang telah terpanjat. Kuakui, ini berat. Ini bukan yang pertama kali aku merasakan kegagalan dalam hal yang sama. Ini kedua kalinya. Sekaligus terakhir kalinya. Namun, rasa ini tidak seremuk rasa yang menimpaku saat pertama kali aku gagal tempo lalu.

Aku tidak menangis, sungguh. Aku sama sekali tidak meneteskan air mata. Mungkin aku sudah kebal dari rasa ini. Oh, barangkali bukan mataku yang menangis, melainkan hatiku. Tapi, ah, sudahlah.

Aku belajar banyak. Sangat banyak. Satu hal yang bisa kuambil hikmahnya dari peristiwa ini: ikhlas. Bukan hal mudah, kuakui itu. Namun, bila aku tak menerapkan keikhlasan itu, bukankah itu justeru akan mempersulitku? Jadi, kuputuskan untuk tetap berdiri anggun dengan senyum manis untuk tegar menghadapi kenyataan, sehingga bukan sekadar memalingkan wajah dari kenyataan, apalagi untuk menghindar atau lari dari kenyataan.

Well, Maghrib datang juga. Saatnya masuk ke rumah. Hatiku sudah tertata. Aku ahli dalam memanipulasi perasaan. Kumanfaatkan betul-betul kemampuanku yang satu ini. Entah ini termasuk kemampuan atau kelainan. Yang jelas hal ini sudah menjadi bagian dari diriku. Mood swing dalam waktu singkat sudah menjadi hal biasa bagiku. Semoga setelah aku menyunggingkan senyuman manis, tangisan atas dasar apapun itu tidak akan pernah hadir. Semoga.

*catatan ini kutulis di memo dalam Blackberry-ku saat senja tadi dan baru kusalin malam ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar