Aku memiliki diary. Diary atau yang dapat disebut buku harian ini berisi tentang kegiatanku sehari-hari maupun luapan perasaan yang terjadi padaku. Kebanyakan memang bercerita tentang perasaanku yang seringkali absurd. Apapun peristiwanya, bagaimanapun keadaannya, kapanpun waktu berlangsungnya semua tertulis dalam diary. Dari tulisanku yang paling rapi sampai tulisan ceker ayamku sekalipun, semua tertulis dengan nyata di diary. Aku merasa lepas, bebas, dan semauku ketika aku menuliskan segalanya di diary. Hal ini seperti momen kebebasanku meluapkan segala yang ada di hati dan pikiranku. Gagasanku, perasaanku, seperti tertuang dengan lancar di sini. Tidak ada yang melarangku menuliskan apapun itu. Karena diary ini milikku. Hanya aku yang berhak membaca semua tulisanku ini. Diary ini bersifat rahasia. Sudah semestinyalah tidak boleh ada orang yang membaca selainku.
Aku mulai menulis diary sejak aku duduk di bangku SD. Kalau aku membaca-baca kembali diary-ku itu, aku serasa terbang ke masa lalu, masa di mana aku bisa berbuat polos sesukaku, bertindak bodoh tanpa harus merasa malu, melakukan hal-hal konyol ala anak kecil sepuas hati, dan banyak-banyak bermimpi tentang masa depan tanpa rasa takut sekalipun impianku mustahil untuk diwujudkan. Tulisan-tulisan ala anak SD itu sungguh membuatku terkikik geli.
Beranjak remaja aku masih tetap mempertahankan kebiasaan menulisku di diary. Yah, usia-usia itu memang sedang masa pencarian jati diri. Banyak kelabilan. Banyak gaya. Banyak merasa sok. Banyak hal yang mendeskripsikan betapa berlebihannya aku masa itu. Mungkin itu salah satu proses pencarian jati diri. Terlebih perkara perasaan. Ada kalanya merasa kesal ketika guru menjelaskan materi pelajaran tetapi aku tak juga dapat mengerti, merasa sebal ketika harus mendapat omelan ataupun amarah dari orang tua karena aku enggan menuruti perintahnya, merasa takut kehilangan seseorang yang disukai saat itu, merasa sedih ketika aku tidak bisa mendapatkan ranking terbaik sebagai pencapaian prestasi, merasa iri ketika aku tidak bisa mengikuti gaya hidup teman sebaya yang memiliki gawai terkini pada masa itu, merasa bersalah ketika aku telah marah-marah dan bersikap garang pada temanku sendiri, merasa malu, merasa gundah, merasa gila! Lebih dominan perasaan ketimbang hasil pemikiran mendalamku. Aku memang memandang segala sesuatu dari kacamata perasaan terlebih dahulu. Jarang sekali aku berpikir logis.
Semakin ke sini, ternyata tulisan diary-ku tetap sama saja seperti kala aku remaja. Aku tetap sulit untuk dewasa dan matang. Isi tulisanku tetaplah sama, berkisar tentang perasaan dan peristiwa. Tapi 'kan itu diary. Tidak ada salahnya aku menulis demikian. Toh hanya aku yang tahu. Tulisan-tulisan tentang hasil pemikiranku maupun tentang kehidupan yang jauh lebih dinamis, tidak aku tuliskan di diary. Diary hanyalah semacam pelarianku tatkala aku merasa sumpek dan tak tahu lagi ke mana harus mengadu. Ya, diary adalah saksi bisu kehidupanku yang benar-benar penuh warna ini. Tak ada seorang pun yang mengetahuinya. Hanya aku. Akulah sang penulis diary itu. Coretan demi coretan yang aku torehkan merupakan hasil murni perasaan dan peristiwa yang mengalir di sepanjang usiaku.
Aku tidak bisa mengira satu hal. Bagaimana jika aku telah tiada? Akankah tulisan-tulisan di diary-ku tetap terbungkus rapi? Atau adakah seseorang yang telah membuka dan membacanya sehingga semua rahasia hidupku terbongkar apa adanya ke permukaan setelah aku tiada?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar